Setiap sen harus dihemat karena rakyat sekarang makin susah
Jakarta (ANTARA News) - "Ada dinas yang menghabiskan anggaran sampai ratusan juta rupiah untuk pelatihan dan seminar macam-macam. Setiap sen harus dihemat karena rakyat sekarang makin susah".

"Saya tidak mau ada apel-apel siaga antisipasi banjir lagi. Saya mau inspeksi ke RW-RW, saya enggak mau kasih tahu ke mananya, nanti mereka sudah siap-siap lagi". "Saya lebih baik ngomong jujur di depan daripada saya bohongi pelan-pelan hanya supaya saya bisa dipilih lagi".

Dia bicara merentang dari penghematan duit rakyat, ogah dengan rapat sana rapat sini dan terkesan jemu dengan segala apel-apel siaga sementara banjir berada di muka, sampai  dengan pilihan berbicara jujur ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling di tengah birokrasi kata-kata yang njlimet sarat pencitraan.

Dia Basuki Tjahaja Purnama, yang kerap disapa Ahok, dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Rabu.

Ia kemudian memparipurnakan ketiga pernyataan itu dengan keinginan untuk merotasi pejabat secara besar-besaran agar mesin birokrasi makin lincah dan makin dinamis merespon keprihatinan masyarakat Jakarta.

Di balik gaya berbahasa mengenai jagat besar (jagat besar) bernama Jakarta, Ahok ingin bekerja dan bekerja.

Salah satu caranya, ia ingin menghemat uang rakyat, karena "di mana uangmu di situ hatimu berada." Dan Jakarta menyimpan 1001 masalah, antara lain banjir tahunan, transportasi umum yang bersih dan aman, sampai upaya mengefisienkan dan mengefektifkan ruang lalu lintas.

Dibalut gaya berbicara langsung ke sasaran tanpa basa-basi, Ahok memahami bahwa setiap kata dan setiap teks memanggil kerja.

Kata dan teks bukan semata dicetuskan di udara sebagai kata-kata tanpa makna, tetapi diwujudkan dalam daya kerja, daya yang menggerakkan orang untuk bekerja, bukan daya berorasi di mimbar, apalagi daya berlapor di atas kertas belaka. Daya kerja Ahok bermuara dari keprihatinan konkret warga Jakarta umumnya.

Ketika sebagian warga Jakarta mengalami banjir setiap tahun, ia menginstruksikan semua wali kota untuk melakukan normalisasi sungai dengan melakukan pembebasan lahan.

"Kalau ada sengketa tanah dengan empat atau pemilik tanah dan ngotot-ngototan harga tanah di bawah harga appraisal, sikat saja. Kami serahkan ke pengadilan dan lakukan konsinyasi," kata Basuki, di Pintu Air Manggarai, Jakarta, Selasa (18/11).

Ketika banjir benar-benar mengancam, Ahok blusukan, turun ke bawah (turba), melakukan inspeksi mendadak (sidak) dengan meninjau ke pintu air Setiabudi Timur, pintu air Manggarai, Sodetan Ciliwung di Otista Jatinegara, Kampung Melayu, Kebon Baru, Petogogan, Pondok Pinang, dan Cideng. Tujuannya, ia tidak ingin memperoleh laporan asal bapak senang (ABS).

Di balik gaya berbahasa dan bertindak Ahok tercetus satu makna yang ingin mengungkap bahwa kata-kata bersatupadu dengan perbuatan. Banjir, transportasi umum, dan pembebebasan lahan merupakan sekian dari segudang masalah Jakarta.

Masalah itu nyata ada di depan mata. Konkret melewati masa tertentu. Bernuansa historis, karena di sana ada masa lalu yang perlu ditanggulangi, dan masa depan yang perlu segera disongsong demi mewujudkan Jakarta Baru yang lebih mensejahterakan bagi semua warga tanpa kecuali.

Ahok sedang melakukan hal "yang puitis" ketika berbahasa dan bertindak. Setiap kata, dan setiap teks mengimbau segala penafsiran.

Misalnya, ungkapan kerja, kerja, dan kerja, maka tafsirannya merujuk kepada Presiden Jokowi. Macet, banjir, polusi udara, serta merta terkandung makna Jakarta. Segala apa yang ditafsirkan datang sebagai pengalaman konkret dalam dunia kehidupan Jakarta.

Ketika berbicara mengenai makna berbahasa, filosof Martin Heidegger, berwacana mengenai yang puitis, yang merupakan cara khas menyingkap kebenaran. Makna teks merujuk kepada makna kesejarahan (historis) yang menyatukan cakrawala masa lalu dan cakrawala masa depan.

Dalam berbahasa, manusia mengalami serentetan fakta-fakta makna. Jakarta banjir setiap tahun, fakta maknanya bahwa warga Jakarta mengalami dan merasakan pengalaman banjir. Rumah, pemukiman, sekolah dan perkantoran tenggelam terkubur air.

Duit rakyat harus dihemat, bermakna bahwa uang rakyat jangan dihambur-hamburkan, karena uang mencerminkan dan menyimbolkan hasil kerja dan hasil prakarsa.

Implikasinya, menggunakan uang rakyat dengan serampangan maknanya meremehkan hasil kerja rakyat. Untuk itu, Ahok perlu mencermati, bukan sekedar mengawal belaka, setiap sen uang rakyat dengan melakukan aksi beres-beres di birokrasi keuangan Jakarta.

Ketika berbicara mengenai gaya berbahasa Ahok, di bawah perspektif ranah berpikir pascamodern, dinyatakan bahwa setiap kata dan setiap pernyataan tidak terpisahkan dari arus kehidupan. Di sini, filosof Ludwig Wittgenstein berujar bahwa kata dan pernyataan pertama-tama perlu dipahami dalam bentuk kehidupan.

Nah, kalau Ahok ceplas-ceplos dalam berbahasa ketika bersua dan bergumul dengan pengalaman keprihatinan Jakarta, maka Gubernur DKI Jakarta itu sedang melontarkan wacana yang dilandasi oleh fakta masa lalu (soal banjir dan soal transportasi massal) dengan dilandasi teks masa depan berjudul Jakarta baru yang lebih modern dan lebih demokratis di bawah payung keindonesiaan yang berbhineka tunggal ika.

Apakah gaya berbahasa khas Ahok perlu diubah atau dikoreksi agar lebih santun menentramkan baik kepada masyarakat maupun ke DPRD?

Pertanyaan ini mengemuka ketika Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi menyarankan agar Gubernur DKI Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama mengubah gaya komunikasinya.

"Ke depannya Pak Ahok harus lebih santun dalam bersikap. Bicaranya juga dijaga. Pemimpin kan harus menentramkan, baik ke masyarakat maupun ke DPRD," kata Pras, di Gedung DPRD DKI, Senin (17/11). "Jadi Pak Ahok ini tindakannya benar, tapi cara ngomongnya ini yang salah," ujar politisi PDI Perjuangan itu.

Beranilah menjadi diri sendiri. Gaya berbahasa Ahok adalah gaya berbahasa Ahok. Tanpa ingin menjadi galau berlarut-larut, Ahok kini berhadap-hadapan dengan dunia sekitar dan dunia konkret bernama DPRD yang siap melontarkan segala pernyataan.

Makna berbahasa merujuk kepada ekspresi. Dengan berekspresi, seseorang memainkan fungsi dan perannya dalam perilaku sosial. Bila seorang pemuda mengatakan, "I Love you" kepada putri pujaan, maka ekspresinya setangkai bunga sebagai wujud keinginan berkomunikasi.

Intinya, berkomunikasi dan berekspresi. Jelas, bahwa gaya bahasa Ahok bukan sebatas permainan bahasa melainkan permainan wacana menuju tindakan konkret dari keprihatinan warga Jakarta.

Bahasa kerennya, gaya berbahasa Ahok bersumber dari makna mendasar bahwa berbahasa selalu menunjuk kepada makna perilaku untuk bertindak konkret, bukan sekedar berwacana di bawah sorot kamera media.

Gaya berbahasa Ahok bersumber dari konteks dunia-nyata, bukan konteks dunia yang direkayasa. Bahasa mewujud dalam perilaku dan aktivitas. Bertutur dengan kata-kata berarti bertindak nyata bagi sesama. Deskripsi Ahok tidak bisa dibatasi dengan cara bicara tertentu saja, misalnya santun atau "cara ngomongnya yang salah".

Ahok memahami dan mempraktekkan bahwa bahasa merupakan konsensus dan bersifat intersubyektif, artinya mengaitkan orang lain sebagai lawan bicara, sebagai lawan berwacana.

Di sinilah, gaya berbahasa Ahok perlu lebih berhitung dengan adanya orang lain, karena menghargai orang lain merupakan cermin dari kedalaman jiwa untuk bertanggungjawab kepada sesama.

"Maaf, Bapak dan Ibu, saya jujur saja tidak bisa seperti Pak Jokowi dengan mengajak makan dulu dan mengobrol sana-sini. Saya enggak bisa. Kalau memang Bapak dan Ibu melanggar peraturan, ya maaf saja akan kami bongkar (gusur) rumahnya," kata Basuki saat berbincang dengan warga di Bidara Cina, Jakarta Timur, Selasa (18/11).

Meminjam ujaran Latin klasik "non vi, sed arte", artinya bukan dengan kekerasan, tetapi dengan seni kepandaian. Bukan dengan otot, atau berkomplot, tetapi dengan menggunakan akal budi.
(T.A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014