Pemerintah dulu sempat melarang semua nama berbau Tiongkok, oleh karena itu diganti menjadi `Kompak`. Harapannya semoga setiap anggota keluarga bisa tetap kompak."
Jakarta (ANTARA News) -  Sekilas jika dilihat dari luar, Toko Kompak di Jalan Pasar Baru No. 18 A Jakarta Pusat seperti bangunan tua biasa yang dijadikan tempat menjual pakaian.

Teras toko yang lantainya tersusun atas batu koral hitam besar dijadikan tempat memamerkan berbagai kaus warna-warni. Ada pula seragam berbagai klub sepak bola yang digantung di pintu.

Toko ini berkonsep rumah toko (ruko) dengan dua lantai. Kesan uzur terlihat dari kondisi dindingnya yang tidak dicat dengan baik dan konstruksi kayu pada balkon lantai dua.

Namun, secara keseluruhan bangunan ini masih kokoh.

"Umur gedung ini sekitar 300 tahun dan rumah toko ini masih asli," kata Ki Boub, yang sudah bekerja di toko ini selama hampir 30 tahun.

Eddy Prabowo Witanto, mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia yang menjadikan Toko Kompak sebagai penelitian skripsi (1997) mengatakan bangunan ini sudah berdiri sejak abad ke-19.

Skripsinya itu berjudul "Toko Kompak Pasar Baru: Suatu Tinjauan Ragam Hias Dan Arsitektur Bangunan Rumah-Toko Cina Abad ke-19".

Memang, jika mencoba masuk ke dalam, suasana akan jauh berbeda. Arsitekturnya khas, perpaduan gaya Eropa dan Tiongkok.

Susan Abeyasekere dalam bukunya Jakarta A History menyebutkan bahwa struktur bangunan etnis Tiongkok di Indonesia memang mencaplok gaya Eropa.

"Pengaruh konsep rumah toko di Tiongkok bagian selatan juga sangat berpengaruh," catat dia.

Begitu hendak masuk ke toko, pintu utama yang terbuat dari kayu dengan tinggi hampir tiga meter menyambut dengan ukiran "kilin" atau "qilin" (hewan bertanduk yang dianggap suci oleh masyarakat Tiongkok) pada dua daun pintunya.

Tapi, itu masih lapisan pintu pertama. Di dalamnya masih ada dua lembar daun pintu lagi dengan pengetuknya yang dihiasi aksara Tiongkok. Pada sistem pengunciannya tertulis "Chubbs Patent Queen Victoria St. London", buatan Inggris.

Di atas pintu tertera nama "TOKO KOMPAK" yang dilukis dan berukuran cukup besar. Namun jika diperhatikan dengan seksama, ada tulisan lain yang pernah tertulis di belakangnya namun dihapus.

"Itu nama toko ini sebelumnya, Sin Siong Wouw. Pemerintah dulu sempat melarang semua nama berbau Tiongkok, oleh karena itu diganti menjadi Kompak. Harapannya semoga setiap anggota keluarga bisa tetap kompak," tutur Ki Boub.

Ada dua medali berwarna perak di papan nama toko tersebut. Di sebelah kanan bergambar seseorang di bawah pohon pinang, sementara medali di sebelah kiri hanya ada tulisan "ZILVER MEDAILLE 1908 PASAR GAMBIR".

Sebagai informasi, Pasar Gambir tidak ada hubungan Stasiun Gambir yang ada sekarang. Tio Tek Hong, seorang saudagar Pasar Baru, bercerita bahwa asal mula Pasar Gambir adalah pesta penobatan Ratu Wilhelmina pada tahun 1898.

"Sejak saat itu, menjelang ulang tahun Ratu pada31 Agustus diadakan Pasar Gambir di Lapangan Merdeka Utara selama seminggu. Hiburannya antara lain panjat batang pinang, komidi putar, dan tersedia beragam makanan," kenang Tio Tek Hong.

Bagian Dalam
Bagian dalam Toko Kompak adalah sebuah ruangan luas yang disangga empat pilar kayu yang mulai lapuk. Ada beberapa meja, kursi, dan etalase tempat barang dagangan, sementara lantainya terbuat dari bahan marmer. "Kemungkinan marmer ini berasal dari Eropa," ujar Ki Boub.

Pada dinding bangunan terdapat hiasan ukir khas Eropa berbentuk wajah seorang perempuan. "Dulunya itu tempat meletakkan cermin," tutur Ki Boub.

Selain tempat meletakkan cermin, pada dinding juga terdapat beberapa pintu penghubung ruangan yang sudah tidak berfungsi.

"Di masa lalu ruangan ini adalah tempat berkumpul keluarga dan mengadakan acara-acara. Dan pintu penguhubung itu berfungsi untuk menyatukan ruangan," ujar Ki Boub.

Gubernur Jenderal saat itu sering berkunjung ke rumah toko ini, kata Eddy Prabowo W. dalam laporan hasil penelitiannya.

"Kelompok-kelompok barongsai juga diundang masuk khusus untuk menghibur para tamu," paparnya.

Pesta-pesta etnis Tionghoa memang lazim diadakan pada masa itu. Sejarawan Ong Hok Ham pada tahun 1958 menulis di "Star Weekly" bahwa pesta Tionghoa biasanya menjadi tontonan yang menarik.

"Orang-orang dapat makan hidangan yang mewah dan baik. Apa saja yang bisa dibeli dengan uang," kata Ong Hok Ham dalam artikelnya "Tiga Macam Kebudayaan yang Mempengaruhi Cara Hidup Peranakan Tionghoa".

Acara seperti barongsai tersebut biasanya diadakan di dalam ruangan persis di bawah "rooflight" (ventilasi/atap yang memiliki lubang pencahayaan) dan atrium, di mana para penontonnya akan menikmati acara dari lantai dua.

"Ini adalah satu-satunya rumah toko Tiongkok di Jakarta yang memiliki rooflight dan atrium ruangan di dalamnya," papar Eddy.

Jika berjalan ke ruang belakang, terdapat sebuah kamar besar berukuran sekitar 5 x 5 meter dengan aksara Tiongkok di kedua daun pintunya.

"Ini kamar pemiliknya dulu, sekarang dibuat menjadi kantor. Tulisan Tiongkok itu artinya semoga penghuni rumah diberkahi kesehatan dan kesejahteraan," kata Ki Boub.

Sebelumnya, Ki Boub melanjutkan, Toko Kompak adalah sebuah rumah besar dan perlahan berubah menjadi sebuah toko yang menjual kebutuhan rumah tangga sampai menjual pakaian seperti saat ini.

Toko Kompak dan tiga toko lain di sebelahnya (dua di kanan, satu di kiri), Ki Boub melanjutkan, awalnya adalah satu kesatuan bangunan dan dimiliki oleh seorang "Mayor" Tiongkok.

Sejarah Kepemilikan
"Dulu ini adalah rumah seorang Mayor Tiongkok, bernama Mayor Tio," tutur Ki Boub. Sayang sekali, pria yang rambutnya sudah dipenuhi uban ini tidak mengetahui sejarah lengkapnya.

Catatan Mona Lohanda dalam buku "The Kapitan Cina of Batavia 1837-1842", Mayor Tio bernama lengkap Tio Tek Ho. Dia menjabat sebagai Mayor di Batavia (Jakarta) pada 1896-1908, menggantikan mayor sebelumnya Lie Tjoe Hong (menjabat 1879-1896) yang meninggal dunia.

"Sepanjang sejarah, Batavia hanya memiliki lima orang yang bergelar Mayor Tiongkok," tulis Mona.

Mayor Tiongkok pada masa itu, lanjut Mona, kedudukannya sama dengan bupati pada pemerintahan kaum pribumi ("inlandsch bestuur"). Di bawahnya berturut-turut adalah jabatan "captain" atau kapiten yang setara wedana.

Ada juga letnan yang setara asisten wedana, dan jabatan terendah untuk Tiongkok adalah "Chinese wardmaster" (setara Lurah pada masa lalu) yang sama kedudukannya dengan "wardmaster" atau "wijkmeister" pribumi.

Dari keterangan Ki Boub, Toko Kompak saat ini tidak dimiliki oleh keturunan sang Mayor.

"Sudah sangat lama berganti kepemilikan. Saya tidak tahu prosesnya bagaimana, yang jelas pemiliknya sekarang adalah keturunan seseorang bermarga Tan," tutur dia.

Eddy Prabowo W. menjelaskan memang tidak diketahui dengan pasti bagaimana dan kapan gedung tersebut dipindahtangankan.

"Surat tertua yang ditemukan di sana bertanda 1917 atas nama Tan A Giang. Mayor Tio sudah meninggal pada Januari 1908. Jadi, kemungkinan besar perpindahan itu terjadi di rentang waktu tersebut (antara 1908-1917)," papar Eddy.

Menurut catatan dia, sebelum menjual pakaian seperti sekarang, gedung ini sempat dijadikan pabrik bengkel mebel dan toko kelontong.

Belum Masuk Cagar Budaya
Berdasarkan Peta Cagar Budaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diterima Antara, Toko Kompak di Pasar Baru belum masuk kategori bangunan cagar budaya.

Peta tersebut memang memasukkan "bangunan di Jalan Pasar Baru" sebagai cagar budaya, namun hanya pada bangunan di no 2, 8, 30, dan 46 yang dibangun pada 1926.

Sementara itu, Toko Kompak, bekas rumah Mayor Tio Tek Ho bernomor 18 A dan dibangun pada abad 19 (tahun 1800-an).

Menurut Ki Boub beberapa bulan yang lalu di tahun 2014, Toko Kompak sempat didatangi utusan dari pemerintah provinsi yang berjanji akan lebih memperhatikan bangunan rumah toko ini.

"Tetapi sampai saat ini belum ada bantuan apapun dari pemerintah," kata Ki Boub.

Masalah tidak masuknya gedung bersejarah seperti ini sebagai bagian cagar budaya ditanggapi oleh Staf Bagian Koleksi dan Preparasi Koleksi Benda Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Khasirun.

"Kemungkinan penyebab masalah tersebut adalah gedung itu belum diinventarisir dan dicatat oleh pemerintah. Penentuan status cagar budaya ini harus hati-hati agar tidak menghilangkan nilai sejarahnya," kata dia.

Dia menuturkan ada bebarapa syarat benda bergerak ataupun tidak bergerak bisa ditetapkan sebagai benda cagar budaya (BCB).

"Dilihat sisi arsitekturnya, lalu pernah digunakan sebagai apa, dan menurut undang-undang usianya minimal 50 tahun," ujar dia.

Jika ditetapkan sebagai benda cagar budaya yang pada prosesnya harus disetujui oleh presiden, pemerintah akan memberikan subsidi.

"Namun besarnya ditentukan sesuai dengan keperluan," tutur dia.

Pengamat Cagar Budaya DKI Jakarta Candrian Attahyyat mengatakan Toko Kompak harus dimasukkan ke daftar cagar budaya daerah.

"Gedung itu adalah contoh rumah toko Tiongkok terbaik dengan ukuran agak besar. Letaknya juga ada di ruang terbuka," ujar Candrian.

Candrian menyarankan dua hal untuk mempertahankan Toko Kompak. Yang pertama adalah pemerintah harus dibantu pelestariannya.

"Yang kedua adalah pemilik toko itu bisa menyerahkan bangunan tersebut ke Pemprov DKI Jakarta untuk dijadikan sebagai ruang publik untuk edukasi, bukan lagi bisnis pribadi walau kepemilikan masih dipegang si empunya toko," papar dia.

Jika tidak mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak, tentu bangunan Toko Kompak ini akan semakin hilang ditelan zaman.

Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014