Damsyik (ANTARA News) - Meskipun perang berkecamuk, Suriah mempertahankan subsidi untuk listrik dan bahan pokok, kata perdana menteri negeri itu pada Senin, saat pemerintah berusaha menggalang dukungan di daerah kekuasaannya.

"Pemerintah terus menyubsidi makanan pokok serta pelistrikan," kata Perdana Menteri Suriah Wael Al-Halqi kepada parlemen.

Ia menyatakan beras, roti dan gula -yang terutama disubsidi pemerintah- menelan anggaran 180 juta pound Suriah (sekitar sembilan triliun rupiah) meskipun inflasi melonjak akibat perang.

Sejumlah 418 miliar pound lagi (lebih kurang 20 triliun) untuk menyubsidi listrik, kata Halqi.

Pengulas dan pejabat memperingatkan bahwa perang hampir empat tahun dan hukuman Barat terhadap Suriah memundurkan perekonomian lebih dari 30 tahun.

Lebih dari separuh dari penduduk menganggur dan produk domestik bruto menyusut hampir 50 persen.

Perang memaksa hampir empat juta orang lari dari Suriah dan jutaan lagi hidup sengsara di daerah jatuh di luar kendali pemerintah.

Harian pendukung pemerintah "Al-Watan" baru-baru ini menyatakan subsidi pemerintah atas produk minyak menyusut hampir 80 persen pada akhir 2014.

Pada Oktober, pemerintah menghentikan subsidi bahan bakar untuk usaha untuk pertama kali dalam beberapa dasawarsa.

Perwakilan Suriah dari pemerintah Presiden Bashar Assad dan tokoh lawan mengakhiri putaran dua hari pembicaraan di Moskow pada pekan lalu tanpa hasil nyata, kecuali kesepakatan bertemu lagi.

Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Suriah dan kepala perutusan pemerintah di Moskow, Bashar Jaafari, mengatakan kepada wartawan, "Kami sepakat akan terus mengadakan pertemuan tukar pendapat pada masa depan."

Jaafari menyatakan perutusan pemerintah Suriah bersikap baik tentang pembicaraan itu, meskipun tidak ada hasil akhir, karena itu adalah awal, pertemuan tukar pendapat.

Ia menyalahkan tokoh lawan atas kegagalan membuat terobosan.

"Kami tidak mendengar satu sikap bersatu dari perutusan lawan. Beberapa menyetujui, yang lain menolak," kata Jaafari.

Pemerintah sepakat atas seperangkat pasal berjudul "Prinsip Moskow", kata Jaafari, dengan menambahkan bahwa sementara beberapa lawan juga menyetujuinya, namun yangn lain menolak langsung.
(B002/C003)

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015