Jakarta (ANTARA News) - Fokus Maritim Indonesia (FMI) siap menawarkan program menunaikan ibadah haji melalui moda transportasi angkutan laut dengan biaya lebih murah sekitar 35 persen dari Ongkos Naik Haji (ONH) selama ini. "Lebih murah 35 persen karena ongkos transportasinya hanya sekitar 900 dolar AS atau hemat 450 dolar AS dari yang ditetapkan pemerintah untuk ongkos angkut selama ini," kata Ketua Umum FMI, Capt. Andi Pancha kepada pers di Jakarta, Selasa. FMI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli dengan persoalan kemaritiman dan kini telah memiliki badan usaha, perusahaan pelayaran PT Celebes Global Lines (CBL). Perusahaan ini sudah siap menggandeng PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) untuk penyediaan armadanya. Menurut Andi, beban ongkos transportasi udara selama ini trennya akan makin mahal karena harga minyak mentah internasional terus naik dan karena itu wajar jika pemerintah pada musim haji tahun ini (2006/2007) menetapkan 1.245 dolar AS untuk zona I (Aceh) dan 1.350 dolar AS, zona II (Jakarta) dan zona III di kawasan timur Indonesia sebesar 1.450 dolar AS. Moda transportasi laut saat ini, kata Andi, sangat layak digunakan untuk angkutan haji karena kapal laut modern memungkinkan lama tempuh bisa dipangkas hingga delapan hari perjalanan Jakarta-Jeddah dengan kecepatan rata-rata 23 knot. "Kalau dulu, sekitar tahun 70-an, sekitar 30 hari," katanya. Dijelaskannya, kapal PT Pelni seperti Labobar dengan kapasitas 3.000 penumpang mampu berlayar dengan tanpa singgah ke Colombo dan Afrika Utara untuk mengisi bahan bakar dan logistik lainnya. "Delapan hari itu sama dengan pelayaran Jakarta-Papua karena harus singgah di Surabaya, Makassar dan Ambon," katanya. Ia juga mengatakan, penghematan lama tinggal (staying time) jemaah haji dengan angkutan laut akan diperoleh karena hanya membutuhkan waktu sekitar 20 hari, sedangkan jika menggunakan transportasi udara sekitar 40 hari. "Jadi untuk biaya tinggal (living cost) bagi para jemaah bisa dihemat," katanya. Ditambahkannya, penghentian penggunaan kapal laut sebagai angkutan haji sejak 1976 sebenarnya bukan karena alasan operasional tetapi karena keputusan politik pemerintah. "Kami waktu itu tidak rugi, tetapi dihentikan oleh pemerintah. Jadi, lebih politis," kata Andi yang juga mantan perwira laut Kapal Haji Arafat tahun 1970-an ini. Sementara itu, menurut Direktur PT CBL, Arifuddin menegaskan FMI telah mendapatkan kebijakan dari Port Authority Jeddah, bahkan ada surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa kapal yang membawa calon jemaah haji asal Indonesia dapat melaksanakan embarkasi/debarkasi angkutan haji. "Namun, ini semua tergantung dari keputusan politik pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Jika diizinkan pada musim haji tahun depan kami siap menyediakan sarana angkutnya," katanya. Hal ini juga senada dengan semangat pemerintah dalam Inpres 5/2005 tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional karena selama ini sekitar 7-11 miliar dolar AS devisa per tahun dinikmati asing karena pelayaran nasional sedang `mati suri`. Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Muslim Penyelenggaran Haji dan Umroh Republik Indonesia (Ampuri) Asrul Aziz Taba menyatakan, jika benar ada potensi penghematan 35 persen, hal ini perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah. Namun, dia meragukan jika waktu yang diperlukan jemaah haji hanya sekitar 20 hari karena pola penyelenggaraan haji saat ini, khususnya ONH reguler diperlukan waktu minimal 23 hari dengan rincian sembilan hari masing-masing di Madinah (arbain) dan Mekah, ditambah lagi 5-6 hari untuk wajib hajinya. "Jika ditambah lama perjalanan 16 hari pulang pergi berarti ditambah waktu minimal sekitar 23 hari maka total sekitar 39 hari atau selisih satu hari dengan perjalanan ONH reguler menggunakan pesawat udara selama 40 hari," demikian Asrul.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006