Jakarta (ANTARA News) - Terhentinya kegiatan pemboran untuk menghentikan semburan lumpur (relief well) dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. di Sidoarjo, Jawa Timur, sudah lama diprediksi, karena merujuk data-data geologi menunjukkan semburan lumpur diyakini terkait fenomena gunung lumpur (mud volcano). "Dari perspektif geologi, ini murni bencana alam. Semburan hanya akan berhenti atau berkurang ketika tekanan hidrostatis tercapai. Dan, itu membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun," ujar Dr. Ir. Syamsu Alam, peneliti dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), yang disampaikan dalam temu ilmiah mengkaji topik "Semburan Lumpur Panas Sidoarjo" di Jakarta, Kamis. Temu ilmiah yang diprakarsai oleh Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) itu menampilkan tujuh pembicara ahli dari disiplin ilmu geologi, geofisika, dan teknik perminyakan yang berasal dari berbagai perguruan tinggi dan asosiasi-asosiasi profesi. Keyakinan tentang kecilnya kemungkinan metode (relief well) bisa diterapkan untuk menghentikan semburan, juga didasarkan pada data volume lumpur. Berdasarkan perhitungan kombinasi data seismik dan gravitasi, volume lumpur yang berpotensi menyembur ke permukaan mencapai 1,155 miliar meter kubik. Selama empat bulan terakhir, debit yang keluar berkisar antara 50 hingga 120 ribu m3 per hari. "Jika diasumsikan debit rata-ratanya 100.000 m3 per hari, maka semburan lumpur baru akan berhenti setelah 31 tahun," ujar Syamsu Alam. Kesimpulan yang sama diungkapkan Dr. Ir. Agus Guntoro MSc, geolog dari Universitas Trisakti Jakarta, Dr. Ir. Prihadi Sumintadireja (ITB Bandung), dan Dr. Ir. Suyoto (UPN Veteran Yogyakarta). "Berdasarkan penelitian kami, materi yang keluar dari semburan lumpur Sidoarjo berasal jauh di dalam perut bumi, dan bukan merupakan proses likuifaksi clay yang disebabkan oleh pemboran, sehingga sangat mustahil dihentikan dengan (relief well)," kata Agus Guntoro. Agus mengemukakan, sampai sekarang kalangan ahli sendiri masih berbeda pendapat tentang penyebab pasti dari semburan lumpur Sidoarjo. Sebagian ahli meyakini, semburan lumpur terjadi akibat aktivitas pemboran (drilling activity) di Sumur Banjarpanji-1 garapan PT Lapindo Brantas Inc. Namun, sebagian ahli lainnya ada pula yang berpendapat, semburan lumpur itu mempunyai korelasi dengan gempa tektonik yang terjadi dua hari sebelumnya di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Sejumlah analisis lain, menurut dia, ada mengaitkan semburan lumpur panas ini dengan fenomena panas bumi atau geotermal, dan tidak sedikit pula analisis yang menunjuk penyebab semburan lumpur tersebut dengan pergerakan gunung lumpur (mud volcano) ke permukaan melalui rekahan yang ditimbulkan oleh gempa tektonik sebelumnya. Bicara logika keilmuan, lanjut Agus, apa yang terjadi di bawah permukaan sebenarnya bisa dideteksi dengan melihat gejala-gejala di atas permukaan, antara lain mulai dari material yang dihasilkan (lumpur bertemperatur tinggi, sekira 120 derajat Celcius). Kandungan kimia yang terdapat dalam lumpur hingga terus bertambahnya jumlah lumpur yang keluar kini mencapai 126.000 m3 per hari atau ekuivalen 1 juta barel per hari. "Bagaimana mungkin menghentikan lobang sedemikian besar hanya dengan satu sumur (relief well)?," ujarsnya. Sementara itu, Herman Muchtar dari Pusat Geologi Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), juga menemukan fakta bahwa semburan lumpur Sidoarjo terjadi akibat pergerakan tektonik yang sulit dihindari. "Jadi, ini sebenarnya fenomena alam biasa. Ia menjadi bencana, karena ada manusia yang tinggal di atasnya," ujarnya. Sebagai fenomena alam, ada atau tidak ada aktivitas pemboran, semburan lumpur pasti akan terjadi, katanya. Fakta bahwa Jawa Timur memang berada di daerah tektonik aktif, menurut dia, juga ditunjukkan dari semburan lumpur yang pernah terjadi sebelumnya, dan semburan di Porong, Sidoarjo, tercatat sebagai peristiwa yang ketujuh, serta faktanya adalah enam peristiwa sebelumnya sama sekali tidak terkait dengan aktivitas pemboran. (*)

Copyright © ANTARA 2006