Bandung (ANTARA News) - Tidak kurang dari 100 ribu balita di Indonesia meninggal dunia setiap tahunnya akibat serangan penyakit diare, kata Koordinator Komunikasi Kesehatan dan Kebersihan Environmental Service Program (ESP) of USAID, Nona Utomo, di Bandung, Rabu. Tingginya angka kematian balita akibat diare itu, katanya, akibat sanitasi yang buruk dan perilaku lingkungan masyarakat Indonesia yang kurang baik. Dalam diskusi bersama Pers Jabar tentang Hidup Sehat dengan Air Bersih dan Memutus Mata Rantai Bakteri Penyebab Diare, dia mengatakan, berdasarkan data rumah tangga dengan jumlah sampel 7.200 di Pulau Jawa dan tiga provinsi di Sumatera ditemukan kematian akibat diare sekitar 28 persen. Nona mengemukakan, penyakit diare lebih banyak memakan korban balita, hal ini disebabkan balita hanya terdapat air dan daging, sehingga bila terjadi dehidrasi sangat mudah sekali terkena diare, sementara orang dewasa terdiri dari daging, lemak, air dan lainnya, sehingga angka kematian akibat diare lebih sedikit. "Dari 12 juta yang terkena diare, sebanyak 420 ribu meninggal akibat diare, 55,7 persen diantaranya balita," katanya. Ia menyebutkan, angka kematian balita (AKB) akibat diare di Jabar lebih tinggi dari angka nasional, yakni AKB di Jabar 43 per 1000 kelahiran hidup, sementara angka nasional 35 per 1000 kelahiran hidup. Menurutnya, banyaknya masyarakat Kota Bandung yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan air minum dan mencuci peralatan makan, menyebabkan 3,6 juta hingga 4 juta warga Bandung terancam penyakit diare, pasalnya dalam sungai yang tidak bersih itu terdapat bakteri e-coli yang mencapai 250 baku mutu (50 ribu/100 ml). Nona menjelaskan, penggunaan septic tank yang aman dan banyaknya masyarakat yang mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, dapat mengurangi penyakit diare sekitar 80 persen, sementara berdasarkan Unicef banyaknya masyarakat yang mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi penyakit diare sekitar 50 persen. Oleh sebab itu, kata dia, perlunya perilaku masyarakat yang harus diubah untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi lingkungan, sehingga dapat mengurangi penyakit diare. Akibat polusi air limbah pabrik dan banyaknya sampah rumah tangga yang dibuang ke Sungai Citarum, pencemaran sungai itu saat ini semakin parah, yakni mencapai sekitar 47,1 persen. Kadar bakteri e-coli di Sungai Citarum mencapai 50.000/100 ml, yang berasal dari limbah industri dan limbah domestik dari masyarakat (Sumber Pusair tahun 2006), demikian Ketua Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A), Dine Andriani. Dengan banyaknya limbah yang dibuang ke sungai dan banyaknya masyarakat miskin yang menggunakan air tersebut untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk air minum dan mencuci serta untuk mandi, maka banyak warga yang terkena penyakit diare. Menurut Dine, penyakit diare sangat berbahaya bagi manusia karena diare bisa menyebabkan hilangnya cairan tubuh pada anak atau orang dewasa yang bisa menyebabkan kematian. "Penyakit diare merupakan urutan kedua di Indonesia yang bisa menyebabkan kematian, terutama terhadap balita," tuturnya. Dalam upaya mengantisipasi penyakit diare, langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah mencuci tangan dengan menggunakan sabun sebelum makan, memasak air hingga mendidih dan bila mendidih harus didiamkan selama tiga menit, sementara tutup pancinya jangan dibuka agar tidak ada bakteri yang masuk.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006