Oleh Abna Hidayati Ajal manusia memang berada di tangan Tuhan, kalau Tuhan belum mengizinkan ajal belum akan mendekat. Demikian halnya yang terjadi dengan Kundek, salah seorang yang selamat dari musibah longsor di Jorong Koto Baru, Kenagarian Air Dingin, Kabupaten Solok, Sumbar, pekan lalu. Kundek dan delapan teman-temannya biasanya selalu tidur di masjid setelah selesai mengajar anak-anak mengaji, namun pada malam itu karena perasaannya tidak nyaman, akhirnya dia pulang dan melanjutkan tidur di rumahnya. Kundek terus terlelap sampai pagi menjelang, karena memang kondisi malam itu sangat dingin, ditambah lagi hujan yang tidak berhenti sejak tiga hari terkhir. Pemuda lajang itu terus tertidur hingga desanya gempar karena delapan unit rumah di Bukit Taronggang tersebut, beserta satu masjid tertimbun longsor hingga menewaskan 18 orang warga. Pemuda usia 21 tahun itu tidak kuasa menahan air matanya menatap jenazah rekan-rekannya yang terbaring kaku, penuh lumpur di Mushola Nurul Ikhwan Jorong Air Dingin, sebuah mushola kecil yang berada dekat dari lokasi. Mushola itu memang dijadikan tempat dikumpulkannya seluruh jenazah korban sebelum dimakamkan secara massal di bukit yang berjarak sekitar satu kilometer dari desa itu. Masih jelas dalam ingatannya, sekitar belasan jam lalu dirinya masih berkumpul dengan delapan orang rekan-rekannya di masjid tersebut, saling bercerita kegiatan hari itu setelah mengajar anak-anak mengaji. Kundek bersama rekan-rekannya, setiap malam memang tidur di masjid itu, mereka biasanya berkumpul pada pukul 22.00 WIB dan tidur di masjid itu hingga subuh menjelang. Setelah masuk waktu subuh, mereka secara bergantian azan untuk membangunkan masyarakat dan melakukan shalat subuh berjamaah di masjid itu. Perasaan tidak nyaman Entah mengapa malam itu, perasaannya tidak nyaman, dan ingin tidur di rumahnya, namun teman-temannya terus meminta untuk tidur bersama di mushola seperti biasa. "Kamra meminta saya untuk tetap tidur di mushola, bersama-sama dengan yang lain," katanya. Karena rasa setia kawan yang tinggi akhirnya Kundek tetap tidur di masjid, namun entah mengapa pukul 00.00 malam itu, dirinya terbangun dan ingin pulang ke rumahnya. Dia lalu membangunkan Kamra, minta tolong agar diantar pulang ke rumah. Setelah itu, bersama dua teman lainnya dia diantar hingga persimpangan di dekat rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi kejadian. Sementara itu, Kamra dan dua teman lainnya kembali ke masjid itu untuk melanjutkan tidurnya, hingga musibah itu terjadi subuh dini hari, yang menyebabkan delapan temannya meninggal. Delapan teman Kundek, termasuk Kamra yang menolak diajak pulang serta warga yang tidur di tempat-tempat itu tidak bisa menyelamatkan diri dan akhirnya meninggal dunia setelah beberapa jam tertimbun tanah. Rekan-rekan Kundek yang meninggal itu adalah, Kamra (18), Wenda (18), Rizal (15), Rudini (15), Marin (18), Nedi (20), Abang (12) dan Ahmad (18). Jasad mereka ditemukan tim Sarkorlak dan warga setempat setelah melakukan pencarian sejak Jumat pagi hingga Sabtu siang. Mengajar mengaji Telah menjadi kebiasaan di masyarakat setempat para pemuda yang telah baligh untuk tidur di masjid dan mushola, begitupun Kundek dan kawan-kawannya. Sehabis magrib mereka biasanya selalu mengajar mengaji anak-anak usia sekolah dasar hingga Shalat Isya. Setelah itu, mereka akan kembali ke rumahnya masing-masing untuk makan malam dan kembali lagi ke masjid sekitar jam 22.00 WIB untuk tidur di masjid. Menurut Kundek, setelah teman-temanya meninggal, dia akan tetap melanjutkan mengajar mengaji anak-anak dan tidur di mushola sambil menunggu masjid yang baru selesai dibangun. Pemerintah telah merencanakan akan membangun kembali masjid yang hancur tersebut itu agar syiar Islam tetap berlanjut di kenagarian yang berpenduduk 1.838 kepala keluarga atau 8.520 jiwa itu. "Insya Allah saya akan tetap mengajar anak-anak mengaji," katanya sambil menitikkan air mata. (*)

Copyright © ANTARA 2006