Jakarta (ANTARA News) - Mantan Deputi Perdana Menteri (PM) Malaysia, Anwar Ibrahim, menyatakan bahwa tidak sepakat dengan istilah yang menyebutkan birokrasi dan korupsi merupakan saudara kembar yang tidak dapat dipisahkan. "Dari kerangka teori, itu tidak benar. Istilah itu menunjukkan politik juga korupsi, menteri juga korupsi. Tidak lah begitu," kata Anwar, di sela-sela "Dialog Membangung Kembali Akuntabilitas Pelayanan Publik di Indonesia dalam Penciptaan Human Security", di Jakarta, Selasa. Anwar menjelaskan bahwa korupsi dapat dihilangkan, salah satunya dengan cara pembentukan komisi independen tanpa campur tangan pemerintah, lengkap dengan tenaga yang terampil dan dana yang cukup. "Di Hongkong pada tahun 1960-an, korupsi telah pada tahap berbahaya dan endemi. Namun, sekarang Hongkong dianggap negeri yang paling bersih dari korupsi," katanya. Menurut dia, untuk memutuskan korupsi yang penting adalah adanya kesadaran rakyat dalam membantu untuk memperkuat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan menyebarkan informasi kepada publik. "Jangan memberi pelindung dan jaminan kepada para tokoh-tokoh yang melakukan korupsi," kata Anwar, yang memuji Indonesia dengan sistem terbuka dalam kebebasan mengekspose masalah korupsi. Indonesia sangat baik dengan sistem terbuka, yakni media massa maupun lembaga negara yang mengekspose korupsi, sehingga masyarakat secara umum mengetahuinya. "Di Indonesia semua heboh tentang korupsi, mulai dari MPR, DPR, hingga Presiden. Kalau di Malaysia tidak ada yang terbuka, karena semua dikontrol pemerintah," katanya. Menurut dia, dengan adanya keterbukaan, maka kontrol terhadap pemerintah berjalan dan hal itu merupakan langkah positif, serta permulaan yang sangat penting. Dalam kesempatan itu, Anwar menambahkan, akuntabilitas sangat penting dalam membantu pemerintah, agar lebih kompetitif dan pembangunan berjalan lancar, sehingga rakyat akan memperoleh manfaatnya. Anwar Ibrahim dipecat sebagai Deputi PM Malaysia pada September 1998 menyusul pertikaiannya dengan PM saat itu, Mahathir Mohamad, berkaitan dengan silang pendapat mereka mengenai kebijakan ekonomi, dan Anwar didakwa melakukan pelecehan seksual maupun korupsi. Kemudian, Anwar ditahan, diadili untuk kasus korupsi dan sodomi, kemudian dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Ia dibebaskan pada September 2004, setelah pengadilan menyatakan bahwa dirinya tidak terbukti bersalah dalam kasus sodomi. Setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi itulah, Anwar Ibrahim baru kembali dapat mencalonkan diri pada tahun 2008. Saat ini ia menjadi pemimpin oposisi Malaysia. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006