Jakarta (ANTARA News) - Ketut Gede Wijaya, kuasa hukum Suwarna Abdul Fatah, pemohon pengujian UU No.8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengaku amat kecewa terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan Gubernur Kalimantan Timur tersebut. "Proses persidangan kali ini sebenarnya adalah kesempatan sementara untuk memperbaiki anggapan masyarakat, bahwa di negara kita orang tidak ditahan karena asas semena-semena," kata Ketut Gede Wijaya, seusai persidangan di MK, Jakarta, Rabu. Menurut dia, siapa pun tidak bisa mendasarkan penahanan orang atas asas kekhawatiran karena sifatnya amat subyektif. "Kita tidak mau pertimbangan hukum di negara kita hanya didasarkan pada pertimbagan khawatir dari beberapa gelintir manusia saja," ujarnya. Frasa dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP yang berbunyi `melakukan tindak pidana` dan frasa "dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran`, ujarnya, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap karena bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan (2), 28G ayat (1) dan pasal 28I ayat (1). "Keputusan ini membuktikan bahwa hukum dekat sekali dengan kekuasaan sehingga akhirnya hukum dijalankan dengan kekuasaan dan kewenangan," katanya. Ia mengatakan, bahwa pasal 21 ayat (1) itu adalah penjelmaan kembali dari HIR pasal 75 ayat (1) yang pada jaman Belanda dahulu khusus dipergunakan untuk bangsa kita yang dijajah oleh mereka. Wijaya mengharapkan, di masa yang akan datang akan muncul kembali Hakim Komisaris seperti yang berlaku di negeri Belanda ataupun Jerman. "Pada saat itu, istilah Hakim Komisaris pernah diperkenalkan di Indonesia, tetapi kemudian ditolak oleh Kejaksaan," kata dia. Menanggapi pertanyaan apa upaya hukum selanjutnya yang akan dilakukan oleh para kuasa hukum Suwarna, Ketut Gede Wijaya mengatakan hal tersebut masih akan dibicarakan bersama dengan tim pengacara beserta Suwarna sendiri.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006