Jakarta (ANTARA News) - Semburan lumpur Sidoarjo (Lusi) yang terjadi sejak 29 Mei 2006, kian membesar menjelang akhir tahun. Akibatnya, pengeboran sumur penyumbat (relief well) di Desa Jatirejo dan Renokenongo, Kecamatan Porong, terhenti menyusul belum selesainya penyemenan pipa selubung (casing) dan luberan lumpur yang mengancam sumur. Kondisi demikian membuat para ahli geologi dan geofisika cenderung ragu bahwa upaya rekayasa teknik dengan metode penyumbatan lumpur bisa berhasil. Hal itu setidaknya tercermin dalam temu ilmiah mengkaji Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, di Jakarta, beberapa waktu lalu. "Dari perspektif geologi, ini murni bencana alam. Semburan hanya akan berhenti atau berkurang ketika tekanan hidrostatis tercapai. Dan, itu membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun," kata anggota tim riset Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Dr.Ir.Syamsu Alam, yang menjadi nara sumber dalam temu ilmiah tersebut. Mengutip hasil riset lapangan tim IAGI, dalam pemahaman geologi semburan Lusi sebenarnya murni fenomena alam yang bersumber dari lapisan tebal di bawah tanah yang berisi lumpur. Lumpur tersebut menyembur ke permukaan karena ada tekanan yang sangat tinggi, sehingga lapisan ini labil dan sangat mudah bergerak. Syamsu Alam menduga bahwa semburan Lusi mempunyai korelasi dengan aktivitas tektonik gempa di Yogyakarta, yang hanya berselang dua hari sebelum Lusi muncul. Aktivitas tektonik itu telah menimbulkan rekahan baru, yang mendorong terjadinya pergerakan lumpur dari bawah permukaan, naik ke permukaan. Dalam ilmu geologi, fenomena alam ini disebut gunung lumpur atau "mud volcano". Menurut Syamsu, fenomena alam mud volcano ini faktanya memang sulit dihentikan. Keyakinan tentang kecilnya kemungkinan metode relief well bisa diterapkan untuk menghentikan semburan, juga didasarkan pada data volume lumpur. Berdasarkan perhitungan kombinasi data seismik dan gravitasi, volume lumpur yang berpotensi menyembur ke permukaan mencapai 1,155 milyar meter kubik. Selama empat bulan terakhir, debit yang keluar berkisar 50 ribu hingga 120 ribu m3 per hari. "Jika diasumsikan debit rata-ratanya 100.000 m3 per hari, maka semburan lumpur baru akan berhenti setelah 31 tahun," ujar Syamsu Alam. Prediksi yang sama dikemukakan dosen Jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti Jakarta Dr.Ir.Agus Guntoro. "Kalau kita sepakat tentang asal-usul semburan lumpur itu, maka kecil kemungkinan relief well bisa diterapkan untuk menghentikan semburan," ujarnya. Asisten Pembantu Rektor I Usakti itu bahkan secara tegas menyarankan agar upaya rekayasa untuk menyumbat atau menghentikan lumpur sebaiknya dihentikan. Menurut dia, selain biayanya besar, upaya penyumbatan justru akan memperburuk kondisi di bawah permukaan. "Berdasarkan penelitian kami, materi yang keluar dari semburan lumpur Sidoarjo berasal jauh di dalam perut bumi, dan bukan merupakan proses pemboran. Sehingga, sangat mustahil dihentikan dengan relief well," katanya. Bicara logika keilmuan, lanjut Agus, yang terjadi di bawah permukaan sebenarnya bisa dideteksi dengan melihat gejala-gejala di atas permukaan. Mulai dari material yang dihasilkan (lumpur bertemperatur tinggi, 120 derajat Celcius), kandungan kimia yang terdapat dalam lumpur, hingga terus bertambahnya jumlah lumpur yang keluar yang kini mencapai 126.000 m3 per hari atau ekuivalen satu juta barel per hari. "Bagaimana mungkin menghentikan lobang sedemikian besar hanya dengan satu sumur relief well," katanya. Analisis yang menyatakan semburan Lusi merupakan fenomena alam, juga terkait dengan fakta bahwa Jawa Timur terletak di wilayah tektonik aktif. Ini tercermin dari beberapa struktur patahan (sesar) yang memotong wilayah itu, berdekatan dengan daerah terjadinya semburan Lusi. Dalam pandangan staf pengajar Jurusan Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Ir. Prihadi Sumintadireja, wilayah Jawa Timur memang mengandung lapisan batuan lempung dengan kondisi bertekanan sangat kuat (over pressure). Tekanan kuat itu berisiko muncul ke permukaan apabila keseimbangan terganggu, akibat kondisi geologi atau tektonik, melalui rekahan atau jalur patahan, maupun jalur lemah yang memungkinkan lumpur tersebut naik. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, fenomena gunung lumpur sebenarnya sudah lama diketahui karena bukti-buktinya dapat dilihat di beberapa tempat. Mulai dari Bleduk Kuwu di Purwodadi Jawa Tengah, Sangiran hingga utara Probolinggo dan Madura. "Mud volcano di Porong-Sidoarjo adalah fenomena ketujuh, dimana enam fenomena sebelumnya sama sekali tidak berkaitan dengan aktivitas pemboran," ungkap Prihadi. Kondisi bawah permukaan yang tidak mendukung inilah yang membuat kalangan ahli geologi sulit membayangkan upaya menghentikan semburan Lusi dengan metode relief well dapat berhasil. "Dengan debit yang demikian besar, relief well akan bermasalah setelah mencapai kedalaman 2.800 feet," kata Prihadi. Upaya paling penting dan harus dikedepankan saat ini, menurut Prihadi, justru penanganan di permukaan. Pertama, mengembalikan lumpur ke habitat asalnya waktu terbentuk pada 4,9 juta tahun lalu, yaitu ke laut. Kedua, dibuat slufter (terbuka dan tertutup) agar dapat dijadikan media bagi tumbuhnya mangrove atau bakau. Selain itu, lumpur juga dapat dijadikan lahan tambak bagi penduduk. Masalah krusial lain yang juga perlu diwaspadai berkaitan dengan dampak geologi semburan Lusi, yakni terjadinya penurunan permukaan tanah yang disebabkan oleh pergerakan tanah secara vertikal (ambles). Indikasinya sudah terlihat dari peristiwa melengkungnya rel kereta api pada September dan Oktober. Terkait dengan ancaman tersebut dan ancaman banjir seiring datangnya musim hujan, Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjudin mengisyaratkan pentingnya ditetapkan titik-titik ordinat untuk menentukan daerah-daerah yang masuk kategori rawan. "Berdasarkan titik-titik ordinat, yang menunjukkan peta rawan bencana, pemerintah harus segera merelokasi penduduk untuk mengantisipasi jatuhnya korban yang lebih banyak," kata Effendi. Melihat kuatnya bukti-bukti ilmiah berkaitan dengan kondisi bawah permukaan Sidoarjo tersebut para ahli sepakat bahwa kasus fenomena lumpur Sidoarjo seyogianya ditetapkan sebagai bencana alam. Meski begitu, penetapan status bencana itu tidak harus menghilangkan kewajiban Lapindo Brantas Inc, yang selama ini dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas musibah tersebut. "Perhatian kita lebih kepada perlunya upaya segera untuk menyelamatkan penduduk, terutama yang masih tinggal di sekitar wilayah rawan bencana," ujar Effendi Siradjudin. Karena berkejaran dengan waktu, Effendi mengusulkan, upaya memindahkan penduduk harus cepat dilakukan tanpa perlu menunggu berhasil-tidaknya pengoperasian relief well. (*)

Oleh Oleh Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2006