Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah pada pekan ini diperkirakan masih tetap pada kisaran Rp9.050/9.100 per dolar AS seperti pekan sebelumnya, yang sempat terkena goncangan ekonomi Thailand sehingga menekan pasar uang dan saham tertekan. Pengamat pasar uang, Farial Anwar, pada akhir pekan lalu di Jakarta, mengatakan gejolak ekonomi Thailand yang membuat rupiah terpuruk hingga di atas level Rp9.100 per dolar AS membuat pelaku sempat khawatir. Namun gejolak ekonomi Thailand itu terjadi hanya sesaat, karena Bank Indonesia (BI) segera melakukan intervensi pasar dan terus mengawasi pergerakan pasar uang dan saham, katanya. Gejolak saat ini, katanya, berbeda dengan tahun 1997. Indonesia sudah banyak belajar dan Bank Indonesia sudah lebih bisa mengatasi gejolak dibanding dahulu. Farial menganggap turunnya indeks Bursa Efek Jakarta juga akan sementara. "Jika regional ada masalah memang ada efek domino. Tetapi kalau fundamental kuat itu hanya sementara," katanya. Farial juga berpendapat bahwa peristiwa di Thailand tersebut dapat dijadikan peluang oleh Indonesia agar investasi jangka panjang bisa masuk. "Dengan kurang menariknya pasar Thailand, maka para investor akan mencari peluang ke negara yang masih mempunyai potensi tinggi seperti Indonesia, katanya. Rupiah yang sebelumnya terpuruk di atas Rp9.100 per dolar AS, akhir kembali di posisi semula pada kisaran Rp9.075/9.085 per dolar AS yang menunjukkan faktor fundamental ekonomi makro Indonesia cukup kuat. Bank sentral Thailand (BoT) membatasi arus keluar mata uang asing. Kebijakan ini mewajibkan 30 persen dari mata uang asing dengan nilai lebih dari 20 ribu dolar AS harus ditanam dalam bentuk deposito tanpa bunga. Langkah ini diambil demi mengurangi spekulasi atas Baht yang mengalami apresiasi cukup tinggi. Namun akibatnya pada Selasa (19/12) bursa saham Thailand dan Asia tergoncang. Pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini, mengingatkan pemerintah agar belajar dari goncangan ekonomi Thailand menyusul kebijakan bank sentral negara itu untuk menekan spekulasi aliran modal jangka pendek. "Karena itu, pemerintah dan BI perlu hati-hati," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006