Menurut Co-founder 8 Villages Sanny Gaddafi (Saga), untuk mencari partner yang cocok perlu lebih dari limakali pertemuan. Dia juga menyarankan agar tidak menjadikan sahabat sebagai partner kerja.
Lebih dari itu, Saga berpendapat bahwa partner harus dapat saling melengkapi dan harus memiliki visi dan misi yang sama sehingga dapat menciptakan start up yang tidak hanya biasa-biasa saja, tetapi luar biasa.
"Cari yang dapat mengisi ke kosongan kamu, cari yang 1+1 bukan sama dengan 2, tapi 11," kata Saga.
Untuk mendirikan start up dibutuhkan setidaknya tiga orang yang bertindak sebagai Hacker (mengurusi bagian IT), Hipster (mengurusi bagian desain) dan Hustler (mengurusi bagian bisnis), oleh karena itu, Saga juga menyarankan untuk mencari partner dari latar pendidikan atau keahlian yang berbeda.
Tidak hanya tentang teknis, ex-CEO Valadoo Jaka Wiradisuria mengatakan bahwa mencari partner juga membutuhkan feeling. "Lebih susah dari mencari pacar atau bahkan isteri," kata dia.
Lebih lanjut, menurut Jaka, untuk mencari partner yang tepat seseorang harus mengenal dirinya sendiri, baik dari sisi teknis maupun kepribadian.
"Dalam kepribadian ada core values yang kita punya. Nilai-nilai itu juga harus dihargai oleh partner," ujar dia.
"Founder adalah partner in live, susah seneng akan bareng dia," tambah dia.
Berdasarkan pengalaman Co-founder Ohdio.FM Ario Tamat, dalam menginvestasikan uangnya, investor justru bertanya mengenai orang-orang yang berada di belakang start up dibandingkan dengan masalah teknis.
"Presentasi panjang lebar tentang start up, tapi dia (investor) malah tanya founder-nya siapa saja, latar belakangnya bagaimana," kata Ario.
Ketiga founder dari tiga start up tersebut berbagi pengalaman "jatuh bangun" mereka dalam acara Start Up Move On Fail Fast, Fail Forward di Jakarta, Sabtu.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015