Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR kecewa terhadap banyaknya pusat riset, tetapi lemah dalam penerapannya karena hasil kajian pusat riset di berbagai daerah dan perguruan tinggi banyak yang tak ditindaklanjuti, sehingga tak bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal itu disampaikan sejumlah anggota Komisi VII DPR ketika mengadakan kunjungan kerja ke Balai Besar Teknologi Pati-BPPT di Lampung Tengah, akhir tahun 2006 seperti disampaikan staf Bagian Pemberitaan DPR, Mastur Prananto di Jakarta baru-baru ini. Menurut Kepala Balai Teknologi Pati, Agus Eko Waluyo, balai penelitian yang dipimpinnya sudah beroperasi sejak 24 tahun lalu, mengolah bahan paku singkong (pati) menjadi etanol. Proyek penelitian yang berlokasi di Tulang Bawang ini telah menghasilkan etanol 8000 liter per hari. Namun proyek yang menelan biaya cukup besar ini belum dapat dikomersialkan. Agus Eko Waluyo mengakui tugas utama yang dilakukan adalah penelitian dan pengkajian. Semua yang diteliti sudah dipikirkan dengan matang dan muaranya adalah kebutuhan masyarakat. Menurut Agus, kelemahan yang terjadi adalah dalam hal sosialisasi dan pemasaran hasil-hasil penelitian yang dilakukan, sehingga terkesan tidak dirasakan secara langsung manfaatnya oleh masyarakat. Seperti soal etanol, sebelum tahun 2005 belum layak dikembangkan karena harga minyak dunia masih dibawah 45 dolar dolar/barel, sedangkan ongkos produksi etanol mencapai Rp 3.500/liter. Hanya laporan Mendengar penjelasan tersebut, Ketua Tim Kunker, Rapiuddin Hamarung, mengatakan para peneliti umumnya hanya puas melaporkan hasil penelitian, walaupun hasil penelitian tidak ada tindak lanjutnya. "Padahal penelitian bisa dikatakan berhasil kalau dapat dimanfaatkan dan berdampak nilai tambah bagi masyarakat," katanya, seraya menambahkan negara lain seperti Brazil dan Thailand sudah berhasil mengembangkan bio etanol secara besar-besaran. Menurut Rapiuddin Hamarung, formulasi ulang diperlukan bagaimana sebenarnya proyek penelitian yang memerlukan dana besar bisa dirasakan manfaatnya dalam waktu singkat. "Kita akan bahas lagi masalah ini dengan Menristek dan Kepala BPPT dalam rapat kerja mendatang," katanya menambahkan. Hal yang sama dikatakan anggota tim Wati Amir. Seharusnya setiap proyek yang dibiayai dengan dana cukup besar berdampak terhadap nilai tambah bagi masyarakat sekitar, apalagi keberadaannya sudah puluhan tahun, sehingga mestinya kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Anggota tim lainnya Simon Patrice Morin juga menyoroti banyaknya pusat riset, namun tidak pernah didukung kebijakan lain, seperti pemasaran. Nizar Dahlan dan Zainal Arifin juga menyoal banyak pusat riset tetapi tidak didukung bagaimana strategi menjual hasil penelitian itu. "BPPT banyak mencetak doktor tetapi tidak ada implementasi. Ini mubazir," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007