Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan menilai rencana pemerintah untuk menyewakan kembali (lease back) puluhan pembangkit listrik milik PLN kepada investor asal Tiongkok tidak tepat.

Pemerintah meminta investor Tiongkok menyewa 35 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 10.000 megawatt.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menyatakan keputusan untuk menyewakan kembali pembangkit listrik ke Tiongkok akan memberikan banyak keuntungan bagi pemerintah dan PLN. Niat ini bisa mempercepat tambahan kapasitas penyediaan listrik.

"Ini jelas pernyataan yang tidak tepat. Faktanya, rendahnya kapasitas program 10.000 MW tahap 1 tersebut karena kegagalan kontraktor Tiongkok membangun pembangkit-pembangkit yang berkualitas. Dengan nilai investasi yang sama besar dengan kontraktor lain, Tiongkok hanya mampu membangun pembangkit dengan kapasitas setengahnya. Karena itu, jika cara lease back itu adalah cara pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban Tiongkok, maka cara itu tidak tepat dan masuk akal,” kata Heri Gunawan di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin.

Puluhan pembangkit yang dibangun investor Tiongkok yang masuk dalam program percepatan pembangunan (fast track programme) 10.000 MW tahap 1 memiliki kapasitas yang sangat rendah.

Pembangkit listrik bertenaga batubara, energi terbarukan, dan gas tersebut, hanya mampu memproduksi listrik sekitar 30-50% dari kapasitas terpasang.

"Rendahya kapasitas listrik tersebut berdampak pada distribusi yang tidak maksimal. Jika PLN membutuhkan listrik untuk 100 orang, maka buatan Tiongkok ini hanya cukup untuk 30-50 orang saja. Yang lebih menyakitkan lagi, nilai investasinya sama besar jika dibandingkan dengan pembangkit listrik lain yang relatif sama,” ujarnya.


Selain itu, dengan lease back, justru pemerintah dirugikan . Jika rata-rata nilai investasi 1 MW sebesar USD 1,5 juta atau sekitar Rp19,5 miliar (kurs 13.000), maka proyek 10.000 MW menelan investasi sebesar Rp 195 triliun.

Dengan kapasitas produksi yang hanya 30-50%, maka negara menanggung rugi investasi minimal = 50-70% x Rp 195 triliun = Rp 97,5 triliun hingga Rp 136,5 triliun. 

"Itu siapa yang nanggung, pemerintah..? Bukan..! Yang nanggung adalah 250 juta rakyat Indonesia. Jelas, rakyat harus kecewa karena proyek yang dibiayai dengan uang rakyat itu tidak mampu menerangi 16% rakyat Indonesia, termasuk mereka yang hidup di daerah-daerah pedalaman. Artinya, masih ada 10 juta rumah tangga yang akan tetap hidup dalam “gelap-gulita”. Ujungnya, kegagalan proyek 10.000 MW akan semakin menyulitkan terwujudnya target rasio elektrifikasi sebesar 97,8%," katanya.

Jika skema lease back ini dipilih sebagai cara pemerintah “menggetok” investor Tiongkok atas buruknya kualitas pembangkit listrik, maka itu cara yang tidak tegas. Bahkan, cara-cara yang seperti itu hanya menegaskan lemahnya posisi tawar pemerintah dalam kontrak-kontrak investasi yang selama ini dijalankan.

"Ringkasnya, kegagalan program 10.000 MW tahap 1 telah menyebabkan kerugian berlipat-lipat. Kerugian itu sudah dan akan terus menjadi beban rakyat bertahun-tahun setelahnya. Karena itu, kerugian yang berlipat-lipat itu jangan ditambah lagi dengan “hilangnya kedaulatan” di bidang ketenagalistrikan lewat skema bernama lease back (sewa pembangkit oleh asing). Ibarat pepatah, jangan sampai rakyat yang “sudah jatuh...” lalu “tertimpa tangga.” demikian Heri.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015