"Mobil listrik yang dinamai EEPIS Prototype Vehicle EV.3 itu memang memiliki dua sensor yakni sensor kecepatan dan sensor jarak," kata mahasiswa semester akhir pada Prodi Teknik Elektronika PENS itu di kampus setempat, Jumat.
Di sela peragaan mobil listrik dengan sistem pengereman otomatis di halaman Gedung D4 PENS itu, ia menjelaskan mobil listrik yang dirancang itu tidak jauh berbeda dengan mobil listrik yang ada umumnya.
"Cuma, EEPIS Proto EV.3 itu memiliki sedikit perbedaan yakni menggunakan sistem pengereman otomatis. Kalau sistem pengereman yang ada selama ini, mobil berhenti mendadak dalam situasi emergency, tapi mobil di belakang akan bisa bertabrakan dengannya," paparnya.
Oleh karena itu, dirinya mengembangkan sebuah sistem pengereman otomatis pada kendaraan listrik dengan memasang sensor kecepatan dan jarak yang bisa melakukan pengereman bertahap sejak jarak 10 meter yakni 0,2 persen dari kecepatan hingga benar-benar terhenti pada jarak 0,5 meter.
"EEPIS Proto EV.3 itu memiliki kecepatan maksimal 50 kilometer per-jam dengan pengisian baterai penuh hingga 10-12 jam. Kalau baterai penuh akan bisa digunakan sejauh 300 kilometer/kwh selama 8-10 jam perjalanan," ucapnya.
Ia mengatakan pengemudi tak perlu khawatir dengan sisa baterai, sisa jarak tempuh, dan sisa waktu yang dimiliki, karena mobil EEPIS Proto EV.3 itu dilengkapi dengan semacam "speedometer" agar pengemudi aman.
Ditanya proses pembuatan mobil listrik bersistem rem otomatis itu, ia mengaku merancang dari nol hingga jadi selama enam bulan dengan menghabiskan dana sekitar Rp10 juta.
"Itu hanya mesin dan kerangka, tapi kalau mau dijadikan mirip mobil beneran mungkin perlu jutaan lagi," ujar mahasiswa yang memiliki hobi otomotif sejak kecil dan kini menjadi anggota tim mobil listrik ChaPens Proto itu.
Juara pertama lomba Tugas Akhir pada 31 Juli 2015 itu mengatakan dirinya memang menambahkan sensor pembaca jarak Maxonar yang merupakan sensor ultrasonic jarak jauh untuk deteksi hambatan di depannya.
"Sistem ini bisa diaplikasikan untuk mobil yang ukuran lebih besar, karena sensor bisa disesuaikan dengan lebar mobil. Misalnya mobil dengan lebar 150 cm maka sensor yang dibutuhkan sekitar 2-3 buah. Mikro kontrolernya pun harus diganti," tuturnya.
Dalam prototipe yang dibuat Akhmad itu mirip kendaraan balap yang hanya diperuntukkan "single person" dengan posisi pengemudi harus setengah tidur untuk mengendarainya.
"Prototipe ini telah diuji dan masih perlu diperbaiki dan dikembangkan lagi, terutama untuk respon sensor jarak dan mikrokontrolernya yang masih kurang cepat. Jika sekarang mikro kontrolernya masih menggunakan AT Mega 328, maka ke depan bisa diganti dengan yang baru seperti ARM," tambahnya.
Secara terpisah, pembimbing TA Akhmad, Ardik Wijayanto ST MT, menyampaikan ke depan bukan tidak mungkin prototipe mobil listrik "auto brake" itu akan dikembangkan lagi dengan memaksimalkan kombinasi kinerja mesin dan rem.
"Yang pasti juga perlu ditambahkan mekanik lagi agar lebih menarik serta pengemudinya tidak kepanasan dan kehujanan," kata Ardik.
Pewarta: Edy M Ya'kub
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015