Yangon (ANTARA News) - Myanmar menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan delapan suku kecil, Kamis, dalam upaya mengakhiri perang saudara berpuluh tahun dalam gerakan yang diperlemah oleh penolakan beberapa kelompok pemberontak lain untuk bergabung dalam kesepakatan tersebut.

Kesepakatan gencatan senjata itu adalah buah perundingan dua tahun lebih dan merupakan tujuan utama Presiden Thein Sein menjelang pemilihan umum November, yang diperkirakan menyingkirkan partainya yang didukung militer.

Dalam upacara penandatanganan perjanjian di ibu kota Naypyidaw yang disiarkan televisi, Thein Sein mengatakan kesepakatan itu akan memberikan "warisan perdamaian" bagi generasi mendatang.

Harian pemerintah Global New Light of Myanmar mengatakan kesepakatan itu bisa menjadi "upaya perdamaian baku penuh yang akan mengakhiri perang saudara lebih dari 60 tahun."

Namun harapan untuk tercapainya gencatan penuh senjata secara nasional sebelum pemilihan umum 8 November baru-baru ini rusak setelah beberapa kelompok pemberontak menggagalkan setiap kesepakatan yang tidak memasukkan semua pasukan pemberontak --terutama organisasi lebih kecil yang terjebak dalam konflik dengan militer.

Panglima militer Myanmar yang berkuasa dan perwakilan pemberontak mengenakan pakaian etnik saat menghadiri acara penandatanganan, sementara perwakilan dari Tiongkok, India, Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi saksi.

Kesepakatan itu memungkinkan kelompok-kelompok yang terlibat untuk memulai dialog politik dengan pemerintah --tuntutan lama suku minoritas yang menyerukan otonomi lebih luas.

Namun, banyak hal bergantung pada tindakan militer Myanmar yang tidak berada di bawah kendali sipil.

Militer Myanmar memerintah negara tersebut dengan tangan besi selama beberapa dekade dan masih mempertahankan pengaruhnya dalam politik, termasuk dengan menguasai seperempat kursi parlemen.

"Ujian nyata sekarang berada di depan, untuk menunjukkan bahwa kesepakatan sebagian ini bisa membawa keuntungan nyata bagi politik dan keamanan," kata pengamat independen Richard Horsey yang hadir dalam acara tersebut.


Kegelisahan politik

Penandatanganan kesepakatan itu dilakukan di tengah kegelisahan politik di Myanmar.

Pada Selasa, pejabat komisi pemilu sempat menyarankan penundaan pemilu November, yang akan menjadi pemilu kredibel pertama di negara yang pernah diperintah oleh militer itu.

Pihak berwenang telah menyebarkan rencana penundaan itu namun setelah muncul penolakan dari partai oposisi yang dipimpin Aung San Suu Kyi, mereka mencabut ide tersebut.

Pegiat demokrasi yang kemudian menjadi politisi itu diperkirakan memimpin partainya memenangi suara dalam pemilu, meskipun ia saat ini dilarang menjadi presiden berdasar konstitusi yang dirancang junta.

Ia tidak menghadiri acara penandatanganan gencatan senjata itu secara pribadi, namun bersikeras bahwa setiap pemerintahan yang dipimpin oleh partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, memiliki komitmen untuk perdamaian.

Myanmar terjerumus dalam perang sipil sejak berakhirnya pemerintahan kolonial Inggris tahun 1948.

Militer memanfaatkan konflik itu untuk pembenaran kekuasaannya dan dituding melakukan pelanggaran di seluruh wilayah etnis.

Pemerintah mencoba memberi penghargaan kepada kelompok yang ikut menandatangani kesepakatan damai, dengan menyingkirkan mereka dari daftar organisasi ilegal. Itu berarti anggota kelompok mereka bisa bebas bepergian dan ambil bagian dalam politik.

Itu termasuk Uni Karen Nation, yang bertempur melawan pasukan pemerintah di Myanmar timur sejak 1949 dalam perang sipil terlama di dunia itu.

Namun dengan pertempuran yang masih berlangsung di sebagian wilayah, beberapa pejabat pekan ini mengatakan bahwa pemilu tidak bisa digelar di kawasan-kawasan konflik ataupun di luar kendali pemerintah.

Kelompok pemberontak utama di utara, termasuk Tentara Kemerdekaan Kachin, menolak menandatangani gencatan senjata.

Di Kachin lebih dari 100 ribu orang terpaksa mengungsi sejak gencatan senjata antara pemberontak dan tentara pemerintah rusak pada 2011, demikian seperti dilansir kantor berita AFP. (Uu.S022)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015