Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mendukung industri petrokimia untuk mendapat insentif fiskal demi merangsang arus investasi, menggerakkan aktivitas ekonomi dan peningkatan daya saing. 

Apalagi jika industri tersebut membutuhkan investasi besar dan memerlukan waktu pengembangan yang lama. 

Salah satu korporasi yang mengajukan fasilitas itu adalah PT Chandra Asri Petrochemical Tbk yang tengah mengajukan tax allowance untuk ekspansi pabrik "nafta cracker" dengan nilai investasi 380 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp5 triliun.

"Kemenperin mendukung permohonan Chandra Asri karena memperkuat daya saing dan struktur industri. Manfaatnya berantai panjang karena mengurangi impor sekaligus semakin memastikan pasokan bahan baku untuk industri lainnya,” kata Menteri Perindustrian Saleh Husin usai menerima kunjungan Presiden Direktur Chandra Asri Petrochemical, Erwin Ciputra di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (29/10).

Dalam kesempatan itu, Vice President Corporat Relation Chandra Asri, Suhat Miyarso mengatakan pihaknya mengajukan tax allowance melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan sudah mendapat persetujuan.

Kapasitas produksi "nafta cracker" meningkat 43 persen dari 600 kilo ton per tahun menjadi 860 kilo ton per tahun. Diharapkan, aksi korporasi itu rampung seluruhnya pada Desember 2015.

Chandra Asri juga mengajukan permohonan untuk mendapatkan tax holiday untuk proyek pabrik karet sintetis senilai 450 juta dolar AS atau lebih kurang Rp6 triliun di Cilegon, Jabar. Mereka juga berharap jangka waktu insentif itu diperpanjang dari lima tahun menjadi delapan hingga sepuluh tahun.

"Untuk proyek pabrik karet sintetis yang dibangun oleh PT Synthetic Rubber Indonesia (SRI), kami memohon agar dapat berlaku lebih lama. Jika hanya lima tahun, maka kurang optimal karena biasanya industri seperti ini masih merugi pada tiga tahun pertama," kata Suhat Miyarso. SRI merupakan perusahaan patungan dengan menggandeng perusahaan ban asal Prancis, Compagnie Financiere Michelin (Michelin).

Komposisi modal terdiri dari Michelin 55 persen dan PT Petrokimia Butadiene Indonesia 45 persen.

Synthetic Rubber Indonesia nantinya akan memproduksi polybutadiene rubber dengan neodymium catalyst dan solution styrene butadiene rubber berkapasitas 120 ribu ton. Produk tersebut merupakan material yang memproduksi ban ramah lingkungan dan seluruh bahan baku operasional pabrik berasal dari dalam negeri.

Diharapkan, pembangunan atau groundbreaking pabrik tersebut akan dimulai pada Januari tahun depan dan selesai pada 2017 serta mulai berproduksi pada 2018. Menurut Suhat, perusahaan akan membagi penjualan produk untuk ekspor dan domestik masing-masing 50 persen.

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015