Kupang, NTT (ANTARA News) - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT, Dion DB Putra, menilai polisi harus menjelaskan secara detail maksud dari Surat Edaran Kepala Kepolisian Indonesia tentang penyebarluasan ujaran kebencian alias hate speech. 

Belakangan hal ini menjadi pembicaraan di dunia maya melalui media sosial. Contoh kasus terkini adalah pembahasan di media sosial tentang foto perbincangan di lapangan antara Presiden Jokowi dengan beberapa anggota suku Rimba.

Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Badrotin Haiti, dalam berbagai pemberitaan, memerintahkan pengusutan tuntas "kasus" itu. 

Berlainan dengan pers yang memiliki Kode Etik Jurnalistik, maka blogger dan pemakai media sosial tidak terikat semacam kode etik dan kode perilaku itu karena (salah satunya) bukan berlandas profesi. 

"Jika Polda NTT sudah mendapatkan surat edaran itu,  sesegara mungkin mensosialisasikannya kepada masyarakat agar masyarakat bisa tahu maksud dan tujuan dari surat edaran tersebut," kata Putra, di Kupang, Senin. 

Sebelumnya, Haiti mengeluarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Indonesia Nomor SE/6/X/2015, tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Putra menilai, surat edaran itu jangan sampai bertentangan dengan UU Nomor 40/1999 tentang Pers. 

Putra juga menilai, media sosial menjadi sarana bagi banyak kalanganan dan pribadi untuk melontarkan kata-kata tidak baik yang mengarah kepada hal-hal yang berbau SARA yang dapat memecah-belah persatuan.

Karena itulah, kata dia, sosialisasi surat edaran itu penting agar masyarakat paham koridor dan batasan serta aturan hukum yang menyertai. Produk lanjutan adalah pengurangan penyebarluasan ucapan kebencian. 

Menanggapi hal tersebut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTT, AKBP Jules Abas, mengatakan, dia juga belum tahu apakah surat edaran itu sudah diterima Polda NTT atau belum diterima. 

"Saya belum bisa pastikan apakah surat itu sudah kami terima atau belum. Karena memang semua surat masuk ada pada Sekretariat Umum, dan saya belum terima surat edaran itu," katanya. 

Tentang penyebaran kebencian, KUHP memiliki beberapa pasal tentang ini yang berasal dari warisan pemerintahan kolonial Belanda, yang salah satu tujuannya mengukuhkan pemerintahan kolonialis di mata kaum bumiputera. 

Di antara pasal-pasal haatzai artikelen yang juga pernah diberi predikat pasal karet itu adalah pasal 156, pasal 157, dan pasal 310 (tentang pencemaran nama baik). 

Sebelumnya, masih ada pasal 154 dan pasal pasal 156 yang kemudian dicabut Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat dan berserikat bagi semua warga negara Indonesia. 

Secara kesejarahan dan filosofi, saat itu majelis hakim Mahkamah Konstitusi menilai semangat kedua pasal KUHP ini untuk memberangus tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berseberangan dengan pemerintah kolonialis Belanda. 

Secara kekinian, juga bisa diinterpretasikan sebagai kemerdekaan berpendapat warga negara, bahkan tentang pemerintah yang berkuasa saat ini. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi saat itu berpendapat, harus dibedakan antara sikap kritis dengan keinginan untuk makar pada pemerintahan yang sah. 

Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015