Jakarta (ANTARA News) - Hubungan Taiwan (Republik Cina) dan Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok) unik dan pasang surut sejak Chiang Kai-shek dan bala tentaranya lari ke pulau Formosa karena mengalami kekalahan di Tiongkok Daratan pada 1949.

Dengan mendeklarasikan pulau tersebut sebagai Republik Cina, Chiang membangun perekonomian Taiwan untuk mendukung janji serbuan ke Tiongkok Daratan.

Taiwan menarik perhatian pengamat hubungan internasional beberapa hari belakangan karena Presiden Ma Ying-jeo dijadwalkan bertemu dengan Presiden RRT Xi Jinping di Singapura pada Sabtu dan beberapa bulan lagi menyelenggarakan pemilihan presiden untuk menggantikan Ma.

Hubungan dwipihak Taiwan dengan Tiongkok Daratan kurang serasi di bidang politik. Masing-masing pihak mengklaim diri negara merdeka dan berdaulat. Taiwan tak sepakat dengan klaim RRT, yang menyatakan Taiwan adalah provinsinya.

Taiwan dalam kedudukan kurang menguntungkan karena hanya sebagian kecil negara menjalin hubungan diplomatik dengannya. Sebaliknya, banyak negara menjalin hubungan diplomatik dengan RRT, anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yang memiliki hak tolak bersama Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Prancis.

John Naisbitt dalam bukunya "Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrhends that are Changing the World" menulis bahwa Taiwan bertransformasi dari wilayah mengandalkan pertanian menjadi kekuatan ekonomi dengan pertumbuhan GNP rata-rata sembilan persen.

Sebaliknya, RRT yang dijuluki Naisbitt sebagai "Naga Besar", bangkit dari mimpi buruk komunisme dan keterbelakangan dengan menjulurkan otot ekonomi dan politiknya.

Kedua pihak mencoba mengatur hubungan dwipihak melalui upaya diplomasi sejak Presiden Lee Teng-hui (13 Januari 1988-20 Mei 2000), Presiden Chen Shui-bian (20 Mei 2000-20 Mei 2008) hingga Presiden Ma Ying-jeo, yang naik ke tampuk kekuasaan melalui Kuomintang (KMT) pada 20 Mei 2008.

Mereka juga berupaya menciptakan iklim di dalam negeri tetap tenang sesuai dengan perkembangan zaman dan mempertahankan keberadaan Taiwan agar kedudukannya tidak terkucil atau terpinggirkan.

RRT pernah berupaya merusak hubungan diplomatik Taiwan dengan sejumlah persekutuan diplomatiknya untuk menjatuhkan Partai Progresif Demokratik (DPP), yang berkuasa, pimpinan Presiden Chen.

Beijing sangat curiga pada Chen dan partainya dinilai menginginkan kemerdekaan Taiwan. Hal tersebut membuat Tiongkok Daratan merngancam akan menyerbu Taiwan jika wilayah itu menyatakan kemerdekaannya. Chen menggunakan masalah penyatuan Taiwan-Tiongkok Daratan untuk menggalang dukungan warga, yang menolak unifikasi.

Masa jabatan pertama Presiden Ma berakhir pada 20 Mei 2012 dan ia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua hingga 20 Mei 2016. Keterpilihan Ma Ying-jeo, seorang pragmatis, membawa ketenangan dan tekad pada "status quo". Di bawah lingkungan demikian, Presiden Ma membalut strategi untuk membawa Taiwan ke tahap lebih lanjut dengan peran penting, yang akan dimainkan Taiwan di Asia.

Langkah Ma itu berbeda dari pendahulunya dan menjadi koreksi atas kebijakan Chen, yang sering "mengejutkan" dan membuat marah RRT.

Pada masa pemerintahan Ma, kedua pihak menandatangani perjanjian bersejarah "Kesepakatan Kerangka Kerjasama Ekonomi" (ECFA) pada 29 Juni 2010.

Kristy Hsu, pengamat dari Chung Hua Lembaga Penelitian Ekonomi, mengatakan Taiwan dan RRT sepakat mengesampingkan perselisihan politik dan menggalakkan usaha memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dan membentuk kawasan perdagangan bebas.

Status Quo
Kepala Perwakilan Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan (TETO) untuk Indonesia Chang Liang-Jen di Jakarta pada Jumat menegaskan bahwa Taiwan siap mengembangkan "status quo baru" dalam hubungan dengan Tiongkok.

"Sebanyak 75 persen rakyat Taiwan menginginkan status quo dipertahankan, sementara sisanya ingin merdeka atau bergabung dengan Tiongkok," kata Chang saat berkunjung ke Antara.

Pertemuan Presiden Xi dan Presiden Ma akan menjadi pertemuan simbolik dan bersejarah karena pemimpin setingkat presiden bertemu untuk pertama kali, yang berlangsung di Singapura pada Sabtu. Salah satu topik pembahasan mereka adalah cara meningkatkan perdamaian dalam keadaan "status quo" yang sudah semakin berkembang dalam tujuh tahun belakangan.

Presiden Ma menegaskan bahwa tujuan pertemuan itu adalah menggalang perdamaian lintas-selat dan mempertahankan "status quo" dengan meninjau masa lalu dan menatap masa depan.

Sesuai dengan undang-undang dasarnya, Taiwan akan mempertahankan "status quo", yang berarti tidak ada rencana penyatuan atau pernyataan kemerdekaan dan tidak ada penggunaan kekuatan militer, tapi tetap meningkatkan kerja sama di antara kedua pihak itu di bidang ekonomi, pendidikan dan budaya.

Pertemuan Ma-Xi juga akan menjadi langkah pertama dalam melembagakan pertemuan di antara pemimpin kedua pihak.

Terlepas dari intensitas hubungan ekonomi dwipihak, RRT masih mempertahankan "Kebijakan Satu Cina" dan khawatir jika kebijakan itu dikendurkan akan memberikan pesan salah bagi wilayah lain, seperti, Tibet dan Xinjiang.

(T.M016/B/B002/B002)
 

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015