Taipei, Taiwan (ANTARA News) - Ratusan pengunjuk rasa yang marah berkumpul di luar kantor Presiden Taiwan Ma Ying Jeou, Sabtu, mengutuk pertemuannya dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping yang telah menimbulkan kekhawatiran demokratisasi di kepulauan dilindas oleh raksasa Tiongkok.

Pembicaraan kedua kepala negara itu dipuji sebagai momentum bersejarah untuk mengakhiri permusuhan selama beberapa dekade antara kedua belah pihak setelah perang sipil, namun memicu reaksi dari rakyat Taiwan yang curiga atas pemulihan hubungan yang diprakarsai Ma.

Para demonstran yang marah mencoba berunjuk rasa di gedung parlemen sepanjang malam dan 27 orang diamankan di bandar udara, Sabtu, sebagai tempat pemberangkatan Ma menuju tempat pertemuan dengan lawannya dan menganggap Ma menjual diri kepada Beijing yang ingin memperluas pengaruhnya.

Kemudian lebih dari 500 pengunjuk rasa mewakili beberapa kelompok termasuk petani, aktivis HAM, dan aktivis lingkungan, berkumpul di hotel Singapura tempat Ma bertemu Xi dan mereka sudah "merasa seperti teman-teman".

"Bagaimana bisa dia... tanpa beberapa negosiasi menuju pertemuan dengan pemimpin yang menjadi musuh kami? Saya percaya ini berada pada level pengkhianatan," kata Wakil Ketua Taiwan Association of University Professors, Lin Hsiu Hsin.

Para pemimpin pengunjuk rasa marah atas komentar Xi bahwa kedua belah pihak "satu keluarga" dan tidak pernah dapat dipisahkan -- mengacu pada posisi Tiongkok Daratan yang tidak berubah bahwa Taiwan adalah provinsi terpisah yang menunggu reunifikasi.

"Xi Jinping mengatakan kita termasuk bagian dari satu Tiongkok. Dapatkah kamu menerimanya?" teriak Lee Ken Cheng dari kalangan Partai Hijau yang skeptis terhadap Beijing.

"Tidak!" jawab massa pengunjuk rasa.

Kecurigaan

Di bawah Ma, hubungan dengan Tiongkok terus berkembang, terutama menjelang pemilihan presiden, namun perekonomian masih lesu dan para kritikus mengatakan bahwa transaksi ekonomi hanya menguntungkan para pebisnis besar, bukan masyarakat biasa Taiwan.

Ada kecurigaan yang mendalam atas pertemuan tersebut, yang diumumkan kurang dari sepekan yang lalu, dan mengkhawatirkan campur tangan Tiongkok yuang berupaya mengamankan kemenangan Partai Kuomintang yang dalam jajak pendapat menuai hasil buruk.

"Kami khawatir mereka bisa saja menandatangani beberapa kesepakatan rahasia. Presiden ini dengan hanya sembilan persen dukungan tidak mewakili kami. Kami takut menjadi bagian dari Tiongkok," kata Peggy Wu, seorang peneliti berusia 28 tahun.

Di sebuah pulau dengan sensitivitas tinggi atas identitasnya, Wu di antara orang-orang yang marah atas pertemuan puncak tersebut. Kedua kepala negara saling menyapa dengan sebutan "mister" bukan "presiden" sebagai pembenaran atas sebuah fakta yang keduanya tidak memperkenalkan diri secara formal.

"Tiongkok tidak melihat kami sebagai bangsa yang merdeka. Posisi mereka tidak sejajar. Kami harus menyapa sebagai presiden, bukan mister," katanya sambil memegang pamflet bertuliskan "Go to hell, One-China policy."

Tawanan Singapura

Di Singapura juga dilaporkan bahwa tiga anggota Ikatan Solidaritas Taiwan Anti Tiongok (TSU) diciduk polisi dari sebuah hostel.

Juru bicara TSU di Taipei mengatakan bahwa kandidat legislator Hsiao Ya Tan "diringkus polisi" bersama dua asistennya.

Polisi di Singapura -- sebuah negara kota di mana protes publik dilarang -- mengatakan bahwa mereka mewawancarai lima warga Taiwan di tengah tindakan tegas petugas keamanan tempat pertemuan, namun tidak diketahui apakah kelima orang tersebut dari kelompok yang sama.

Di Bandara Songshan, Taipei, tempat Ma memberikan keterangan kepada pers sebelum berangkat ke Singapura, Sabtu, para pemrotes mencoba untuk membakar gambar dua pemimpin yang dibubuhi tulisan Xi "Chinese dictator" and Ma "a traitor".

Sebanyak 27 pengunjuk rasa ditangkap setelah mereka memaksa masuk melalui pintu samping yang terjaga.

Mereka termasuk pelajar pimpinsn Chen Wei Ting, seorang tokoh kunci Gerakan Bunga Matahari tahun lalu yang menduduki gedung parlemen parliament selama sebulan lebih untuk memprotes perjanjian perdagangan dengan Tiongkok yang dianggapnya kontroversial.

Rekaman televisi menunjukkan Chen diseret ke mobil polisi, sementara petugas berperisai bentrok dengan pengunjuk rasa.

(Uu.M038/M016)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015