Jakarta (ANTARA News) - Manajemen penyelenggaraan Pemilu di Indonesia tidak efisien dari segi biaya dan terlalu menguras energi sosial-politik masyarakat. Karena itu, kata staf peneliti CSIS Indra J Piliang dalam diskusi di FPG DPR RI di Gedung Parlemen di Senayan Jakarta, Kamis diperlukan langkah serius untuk menyederhanakan manajemen Pemilu. Dia mengemukakan, berdasarkan UU No.3/2002 tentang Partai Politik, UU No.12/2003 tentang Pemilu dan UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wapres, yang disebut sebagai rezim Pemilu hanya Pemilu Presiden dan Wapres (Pemilu eksekutif) dan Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD (Pemilu legislasi). Sedangkan pemilihan kepala daerah dimasukkan ke dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. "Lebih tepatnya, pemilihan kepala daerah adalah bagian dari proses pemilihan aparatur birokrasi di tingkat lokal sebagai `primus interpares`," katanya. Namun, seluruh kegiatan pemilihan kepala daerah itu sama-sama merupakan rekrutmen jabatan politik dengan menggunakan azas-azas penyelenggaraan yang sama. Pemilihan kepala daerah juga tidak disebut dengan Pemilu lokal, padahal keseluruhan prosesnya terjadi di tingkat lokal. Dalam waktu lima tahun sedikitnya akan terjadi 475 pemilihan di Indonesia (dengan asumsi cukip satu kali putaran). Hal itu belum termasuk Pilkades yang melibatkan lebih 70 ribu desa. Dengan frekuensi "event" pemilihan yang demikian tinggi (475 kali), kenyatannya manajemen penyelenggaraannya menjadi tidak efisien dari sisi pembiayaan, baik berupa dana negara yang digunakan maupun dana para kontestan yang mengikuti Pemilu dan Pilkada. Selain itu, energi politik masyarakat banyak terkuras untuk kontestasi politik praktis semacam itu. Karena itu, kata Indra, diperlukan adanya penyederhanaan sistem pemilihan dengan memasukkan Pilkada ke dalam rezim pemilu. "Atau, setidaknya penyelenggaranya adalah lembaga yang sama secara nasional," katanya. Indra menawarkan dua cara utuk mengefektifkan penyelenggaraan Pemilu, yaitu memisahkan antara Pemilu nasional dengan Pemilu lokal yang dilakukan secara serentak atau memisahkan Pemilu eksekutif dengan Pemilu legislatif. "Kedua cara penyederhanaan Pemilu ini sudah disosialisasikan kepada masyarakat, juga secara terbatas sudah didiskusikan oleh sejumlah ahli, akademisi dan aktivis politik," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007