Oleh Bob Widyahartono *) Jakarta (ANTARA News) - Dua tahun lalu, Peta Jalan (Road Map pembangunan ekonomi secara resmi ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya awal Desember 2005 dalam acara pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang dirombak (reshuffle). Bahkan, Sidang Kabinet Pertama KIB pada saat itu baru terbatas pada langkah awal mempertegas visi dengan tujuan yang hendak dicapai untuk direalisasi langsung di bawah koordinasi Menteri Koordinator (Menko) Ekonomi, Boediono. "Road Map" Kebijakan Ekonomi tersebut awalnya sangat diharapkan masyarakat, terutama pelaku ekonomi, yang sudah lama menantikan decisive leadership atau dengan kata lain adanya kepemimpinan yang mampu memanfaatkan momentum penting, tanpa meragu dan berspekulasi dengan dasar perhitungan matang, serta pro-Usaha Kecil dan Menengah maupun Koperasi (UKMK). Pada gilirannya, kepemimpinan di negeri ini dalam mengelola kepastian ekonomi yang dituangkan dalam "Road Map" adalah menjaga dan memelihara kemauan para Menteri dalam Tim Ekonomi KIB untuk menerapkan sikap “KISS= Ke Istana Sendiri Sendiri", kemudian "KISS=Keluar Istana Satu Suara" di bawah koordinasi sekaligus persetujuan Menko Ekonomi, Boediono, untuk implementasinya. Hal ini yang dinamakan delegation of authority. Lantas, sebagian kalangan mempertanyakan, "mengapa masih saja titik beratnya pada memperbaiki ekonomi makro, yang memang tahun 2006 menunjukkan hasil opitimis memasuki tahun 2007?" Oleh karena, mereka pun menilai bahwa sejauh ini proses menjabarkan visi penyehatan ekonomi nasional belum menukik ke realita sektor riil keseharian dari pusat sampai daerah. Pelaku ekonomi pun menginginkan kejelasan pengarahan pembangunan sektor riil yang bisa menempatkan peransertanya. Awal tahun ini pun masih muncul suara dari kalangan pengamat yang mengungkapkan “kebuntuan sektor riil”, meskipun tidak menukik pada sebab musababnya di sub-sektor riil sampai pada daerah dan dampak pada pasaran sasaran masing-masing pelaku ekonomi. Sampai kini terungkap dalam berbagai media bahwa tim ekonomi masih berkutak-katik terus merinci perbaikan atau penyehatan ekonomi makro, yang sayangnya tanpa menyentuh visi penyehatan sektor/lingkungan meso, meta dan mikro, yang harus dipertegas oleh para menteri di Tim Ekonomi KIB. Dalam hal ini, para menteri tersebut makin dituntut ketegasannya, sehingga tanggung jawab mereka tidak "dilempar ke atas". Dari strategi memperbaiki ekonomi makro, mereka agaknya harus menyelaraskan dengan kondisi sektoral yang juga membutuhkan peningkatan produktivitas. Beberapa hal juga perlu ditelaah lebih jauh. Kebijakan industri (industrial policy), kalaupun dikatakan ada, jarang sekali diperbincangkan dan diperkenalkan kepada UKM. Bahkan, cukup banyak elit ekonom makro belum terlalu menjadikannya sebagai fokus untuk diimplementasi, apalagi dalam keterkaitannya dengan kebijakan investasi dan kebijakan persaingan, serta mutu infrastruktur fisik, selain intermediasi bank yang professional untuk mendukung operasi bisnisnya. Banyak ekonom makro yang terhitung elit yang secara bias berpendapat, kebijakan industri sifatnya membuat skala prioritas atau memetik pemenang (picking winners strategy) yang membeda-bedakan (diskriminatif) dalam pelayanan birokrasi dan perbankan. Strategi memetik pemenang, mereka artikan sebagai campur tangan pemerintah yang menerapkan kebijakan top down atau memberi arah petunjuk yang tidak memberi kebebasan kepada masyarakat bisnis untuk berbisnis. Bahkan, ada pendapat bahwa dengan memetik pemenang memberi keamanan operasi, meskipun tidak berani mengambil risiko (risk aversion) untuk inovasi dan produktivitas. Di sektor riil industri terungkap tiga fakta dari realita pasar, yaitu 1. kebijakan industri (industrial policy) yang dipersepsi oleh kalangan pebisnis, apalagi yang menengah dan kecil, sebagai tidak jelas dan tidak transparan; 2. kebijakan fiskal yang tidak riil dan komprehensif; 3. kebijakan perbankan yang belum "memihak" dunia usaha, termasuk industri swasta, terutama skala menengah dan kecil, apalagi kalau menyangkut peranan intermediasi bank yang belum kondusif dalam perlakuan pemberian kredit. Ungkapan demikian adalah ungkapan riil dari komunitas pasar dan pelaku bisnis, meskipun mereka tidak menyertakan angka-angka yang "njelimet". Belum lagi infrastruktur fisik dalam rangka otonomi daerah sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 yang masih belum memadai, kurang menunjang efisiensi dan ketepatan waktu dalam kelancaran aktivitas distribusi maupun bisnis internasional. Hal yang justru lebih mendasar diperlukan adalah kebijakan industri (industrial policy) yang transparan, dan dapat bekerja (workable). Pembangunan industri dan perdagangan Indonesia dalam tahun-tahun mendatang agaknya makin dihadapkan kepada persaingan yang tajam sebagai dampak keterbukaan dunia melalui regionalisme. Semula, dalam tahun 1970-1980an, pembangunan industri diarahkan kepada pembangunan yang bersifat broad based yang tidak mengenal skala prioritas pembangunan industri. Produk unggulan dan produk andalan daerah tidak dijadikan strategi yang prediktif untuk bersama pelaku bisnis, terutama dalam berindustri dan memantapkan perolehan segmen pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Sampai sekarang ini perumusan kembali kebijakan industri yang lebih operasional masih perlu mendapat fokus dari elit kita. Sejumlah faktor yang ikut mengungkapkan penurunan (slow-down). Banyak kelemahan tersebut di atas merupakan akibat industrialisasi berorientasi ekspor yang tidak cukup mendalam (shallow export orientation industrialization), sekalipun optimisme di kalangan pelaku masih ada demi bertahan hidup (survival). Ketika awal tahun 2000an, negeri ini mulai keluar dari krisis yang sempat terjadi sejak 1998, dan pelaku bisnis bergairah kembali untuk berindustri, sekalipun menghadapi berbagai kendala yang hingga kini masih belum sepenuhnya teratasi. Awal ini pun, oleh banyak kalangan dinilai, ternyata menjadi mandek. Jika kita kembali menyimak ke elemen-elemen yang mempengaruhi kebijakan industri, maka industri dipengaruhi oleh empat lingkungan utama, yakni 1. Meta (masyarakat); 2. Meso (sektoral); 3. mikro (swasta pelaku usaha); 4. makro (moneter, fiskal, perdagangan dan penanaman odal/investasi). Meta, dapat diartikan melingkupi pengembangan industri dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya yang di satu sisi memotivasi jiwa kewirausahaan masyarakat, dan bukan men-demotivasi, serta di lain pihak adanya jaminan keamanan dan stabilitas politik maupun aturan hukum (rule of law) yang tegas dan bukan aturan birokrat (law of the bureaucrats) yang seringkali justru merupakan beban tambahan yang sangat menekan. Meso, dapat diartikan melingkupi kepada tingkat kebijakan meso sektoral, mencakup sarana oleh swasta maupun pemerintah pada tingkat setempat dalam prasarana infrastruktur, dan peningkatan mutu produk unggulan layaknya bidang pendidikan pemanfaatan teknologi yang tepatguna untuk berbagai sektor unggulan. Mikro, dapat diartikan melingkupi keada tingkat mikro yang menjadi kompetensi pelaku bisnis swasta mencakup strategi untuk peningkatan produktivitas manajerial, inovasi, pengembangan mutu sumber daya manusia, dan jejaringan kerja (networking), serta kompetensi dalam memanfaatkan teknologi informasi dalam mendukung operasi strategi masing-masing. Makro, dapat diartikan melingkupi kebijakan makro, termasuk kebijakan moneter nilai tukar uang dan tingkat suku bunga, kebijakan fiskal seperti insentif perpajakan, kebijakan perdagangan (trade policy) yang meliputi infrastruktur distribusi, ekspor dan impor, serta kebijakan investasi. Pertanyaan mendasarnya adalah: "Apa kondusif untuk menggerakkan pelaku bisnis dalam berwirausaha secara kredibel?" Mengembangkan kebijakan industri, perdagangan dan investasi, serta persaingan yang lebih matang sekaligus workable merupakan suatu keterkaitan dalam rangka meningkatkan daya saing dalam arena domestik dan regional/internasional. Membuka akses informasi yang sama secara lebih adil (fair), peluang berusaha/berbisnis bagi segenap pelaku dan seluruh daerah, termasuk peranan intermediasi perbankan yang kredibel. Melalui tekad Sumber Daya Manusia (SDM) dalam arti budaya produktivitas, agar dapat senantiasa memperoleh budaya unggul (culture of excellence) nantinya bukan lagi pekerjaan sambil lalu dan instan. Selain itu, pertanyaan mendasar lainnya adalah, "Apa pihak masyarakat/rakyat yang terhitung demand side-nya ekonomi masih harus menunggu arahan untuk keluar dari kebuntuan sektor riil guna menerapkan visi bersama diimplementasi sesuai kapasitas? Dan, mereka juga menantikan "ketegasan" penjadwalan aktivitas perekonomian yang serba jelas. Inilah tantangan dari publik yang patut ditanggapi para pemegang kebijakan nasional, terutama kebijakan ekonomi pro-UKM, koperasi dan pasar memasuki dua tahun dibentangkannya "Road Map". (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007