Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) mundur dari keanggotaan tim penyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Koordinator divisi hukum dan monitoring peradilan ICW, Emerson Yuntho, kepada ANTARA di Jakarta, Minggu, mengatakan, keputusan mundur itu secara resmi diambil oleh ICW karena terjadi perbedaan prinsip antara ICW dan tim penyusun. ICW, menurut Emerson, tidak menyetujui beberapa pasal dalam draft RUU yang dihasilkan oleh tim pada rapat tertanggal 30 Januari 2007. "Ada beberapa perbedaan prinsip yang tidak bisa kami setujui, di antaranya pasal di dalam draft RUU yang menyebutkan penanganan perkara korupsi di pengadilan negeri dan pembatasan kewenangan KPK yang hanya sampai pada tingkat penyidikan," tutur Emerson. Emerson yang menjadi wakil ICW di tim penyusun draft RUU Pemberantasan tipikor juga mengatakan, keberadaannya di dalam tim itu sudah tidak efektif lagi. "Keberadaan ICW dalam tim kami nilai tidak efektif lagi, karena kami tidak bisa menyampaikan ide-ide kami," ujarnya. Menurut Emerson, surat pengunduran ICW dari keanggotaan tim penyusun RUU Pemberantasan Tipikor akan disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, pada Senin, 12 Februari 2007. Tim penyusun RUU Pemberantasan Tipikor diketuai oleh pakar hukum Andi Hamzah yang ditunjuk oleh Hamid Awaluddin, dan beranggotakan di antaranya pakar hukum Rudy Satrio dan Indriyanto Senoadji yang mewakili unsur akademisi, serta perwakilan dari kejaksaan, kepolisian, PPATK dan KPK. ICW merupakan satu-satunya anggota yang mewakili unsur masyarakat di dalam tim tersebut. Meski mundur dari keanggotaan tim, Emerson mengatakan, ICW akan tetap memantau perkembangan draft RUU tersebut. "Kami masih bisa melakukan pemantauan melalui teman-teman lain yang masih ada di dalam tim," ujarnya. ICW, lanjut dia, juga akan melakukan kajian tersendiri dan berupaya menyusun draft tandingan yang nantinya diserahkan kepada pemerintah atau DPR. RUU Pemberantasan Tipikor disusun untuk menggantikan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, guna diselaraskan dengan konvensi internasional antikorupsi (UNCAC). Sesuai isi konvensi itu, Indonesia sebagai salah satu negara peserta harus menyesuaikan UU Pemberantasan korupsi dengan pasal-pasal yang tercantum dalam UNCAC. Namun, beberapa kalangan seperti Guru Besar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, menilai RUU Pemberantasan Tipikor yang tengah disusun itu justru merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi dan tidak sesuai dengan UNCAC. Beberapa pasal dalam RUU Pemberantasan Tipikor yang banyak menuai kritik adalah ditiadakannya pengadilan khusus tipikor serta dihapuskannya hakim ad hoc khusus perkara korupsi. Dalam draft RUU itu diatur bahwa perkara korupsi dilimpahkan ke pengadilan negeri dan ditangani oleh hakim khusus yang berasal dari kalangan hakim karir yang telah diberi pelatihan penanganan kasus korupsi. Aturan lain dalam RUU itu yang juga mengundang kritik adalah pembatasan wewenang KPK yang hanya sampai pada tingkat penyidikan, sedangkan penuntutan dilakukan oleh jaksa penuntut umum biasa. Selain itu, draft RUU tersebut juga hanya mengatur ancaman pidana maksimal tanpa mencantumkan batasan pidana minimal. Meski demikian, draft RUU itu telah mengatur beberapa hal yang belum tercantum dalam UU yang sudah ada, di antaranya ancaman pidana untuk korupsi di kalangan swasta dan pejabat organisasi publik asing.(*)

Copyright © ANTARA 2007