Medan (ANTARA News) - Sertifikasi terhadap minyak sawit ekspor Indonesia mendesak dilakukan menyusul gencarnya kembali tudingan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai kalangan di Eropa bahwa komoditas itu tidak ramah lingkungan. Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Derom Bangun di Medan, Senin, mengatakan, penggunaan minyak sawit untuk bahan bakar kendaraan yang melonjak di Eropa, dalam beberapa bulan terakhir mendapat protes dari berbagai kalangan di kawasan itu. Berbagai kalangan termasuk para ahli di Eropa itu mengkhawatirkan peningkatan penggunaan BBM dengan bahan minyak sawit yang langsung dibakar itu akan semakin merusak lingkungan di negara asal minyak sawit itu khususnya Indonesia. Minyak sawit Indonesia dituding berbagai kalangan di Eropa itu berasal dari perkebunan maupun pabrik yang tidak ramah lingkungan. Operasional perkebunan dan pabrik minyak kelapa sawit Indonesia khususnya dituding merusak lingkungan, menimbulkan pencemaran, merusak hutan dan bahkan membuat satwa langka seperti orangutan yang harus dilindungi punah. Karena dinilai merusak lingkungan, penggunaan minyak sawit itu diminta berbagai kalangan di Eropa itu dihentikan, katanya. "Untuk menghindari ancaman kehilangan pasar CPO Indonesia di Eropa, sertifikasi atas CPO dan produk turunan yang akan diekspor sudah sangat mendesaki dilakukan," katanya. Sertifikasi CPO dan produk turuannya itu akan dibicarakan Gapki dalam sidang RSPO-meja bundar minyak sawit lestari-- ke- V yang akan digelar di Kuala Lumpur, 12 November mendatang. Sebelum pembahasan dan pelaksanaan sertifikasi, Gapki berharap, pemerintah Indonesia bersama-sama Gapki dan pelaku ekspor minyak sawit Indonesia melakukan bantahan untuk menghindari anjloknya permintaan komoditi itu. "Para ahli sangat perlu dilibatkan dalam bantahan isu di Eropa itu sehingga bantahan akan ilmiah karena disertai dengan hasil pengkajian para ahli," katanya. Eropa merupakan pasar utama minyak sawit dan produk turunan Indonesia. Dari 9,99 juta ton ekspor produk itu selama Januari-Oktober 2006, sebagian besar dipasarkan ke kawasan itu.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007