Perth (ANTARA News) - Himpunan Pengusaha-Santri Indonesia menargetkan bisa mencetak sedikitnya satu juta santri dan alumni pondok pesantren menjadi pengusaha pada 2022 dengan serangkaian strategi yang membangkitkan semangat wirausaha di kalangan santri usia 25-35 tahun.

Dalam acara Tea Room Chats yang turut didukung oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) di Perth, Jumat, Presiden HIPSI Moch Ghozali (33) berbagi pengalamannya membina dan menumbuhkembangkan semangat berbisnis di kalangan pondok pesantren.

Menurut dia, HIPSI berangkat sebagai jawaban terhadap fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya Muslim, akan tetapi hanya ada 8 Muslim di antara 40 orang terkaya di Indonesia.

HIPSI dibentuk di ujung sebuah pelatihan kewirausahawanan "Mandiri Goes to Pesantren" yang dilakukan pada 3 Februari 2012. Kemudian kegiatan HIPSI diisi dengan membangun 10 pusat pelatihan "Pesantren Enterpreneur" dengan tema-tema bisnis yang beragam: agrobisnis, kelautan, teknologi informasi dan media, kuliner, perdagangan, dan pertukangan.

"Hingga saat ini, tercatat ada 7.000 anggota aktif di HIPSI, mereka sudah banyak berbisnis bahkan hingga mengekspor ke negara tetangga," kata Ghozali yang bisnis pertamanya dimulai dengan membuat waralaba warung makan dengan menu bebek di kota Surabaya.

Ia menjelaskan pengalaman di bisnis kulinernya itu dengan strategi "BODOL" yang merupakan singkatan dari berani, optimis, duit orang lain. Bisnis waralaba itu berjalan dengan modal dari kenalannya seorang Malaysia, dan hingga kini berjalan dengan lancar.

Namun seperti diakui oleh Ghozali, dinamika membangun ekonomi dari santri dan komunitas pondok pesantren sangat menarik di mana dari total 27.000 pesantren di seluruh Indonesia, sebagian ada yang setuju dengan program wirausaha dan sebagian lainnya kurang sependapat.

"Saya melihat umat Muslim harus mencontoh Nabi Muhammad secara kaffah. Beliau adalah pengusaha, pedagang yang sukses. Mengapa kita tidak? Dan dengan uang yang lebih banyak, kita sebagai Muslim bisa berbuat lebih banyak buat sekitar kita," kata lulusan Universitas Airlangga itu.

Ghozali yang kelahiran Pasuruan tersebut menganalogikan memulai bisnis sama dengan proses hendak mandi. "Kita tidak mandi dengan membawa lengkap semua peralatan ke kamar mandi. Kita masuk membawa apa yang kita bisa, dan bila di kamar mandi tidak ada sabun, misalnya, yaa kita keluar dan ambil sambun."

Hambatan utama dalam memulai bisnis, masih kata dia, biasanya berupa tidak punya modal, tidak punya ide, atau tidak berjiwa bisnis.

Lewat kelas-kelas pelatihan dan motivasi HIPSI, hal-hal ini dibahas dan diupayakan solusinya. "Awalnya kami menggulirkan modal, tapi ternyata sekitar 80 persen bisnis berjalan tidak sesuai rencana. Ini akibat kurang pendampingan, kurang pelatihan. Maka kita giatkan pendampingan dan pelatihan, sembari bantu cari sumber-sumber modal," kata dia.

Dalam upayanya merealisasikan target satu juta santri pengusaha, HIPSI menggandeng berbagai perusahaan yang peduli dengan program wirausaha.

Saat ini bekerja sama dengan Sampoerna, HIPSI menggelar pelatihan intensif gratis untuk para santri di Pandaan, Sukorejo, Jawa Timur, dengan materi yang mencakup bahasan bisnis kuliner, perbengkelan, menjahit, salon, dan perikanan.

Khusus terkait hambatan modal, HIPSI memfasilitasi anggota-anggotanya untuk mengajukan permintaan modal ke BUMN dan analisa bisnis dinilai langsung oleh pemberi modal usaha.

"Beberapa anggota sudah mendapat modal dari bank-bank pemerintah, dari Telkom, dengan bunga yang kecil," ujar dia.

Anggota HIPSI mendapatkan kartu anggota tanpa ada biaya menjadi anggota. Bila anggota ingin meningkatkan fasilitas, cukup membayar Rp50.000 dan mendapat kartu ATM yang berfungsi pula sebagai kartu diskon dengan saldo Rp20.000 di dalamnya.

Pewarta: Ella Syafputri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015