Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan, tugas-tugas domestik dalam keluarga seperti mengurus anak, membersihkan rumah, memasak dan lain-lain bukanlah kodrat sehingga bisa dilakukan bergantian oleh suami dan istri.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Aliran dan Pelayanan Keagamaan Kemenag Kustini menyatakan ketidaksadaran akan pembagian tugas tersebut tidak jarang menjadi awal dari kasus perceraian.

"Kodrat itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak bisa digantikan seperti mengandung, melahirkan dan menyusui. Kalau pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga bisa dilakukan oleh siapa saja, istri maupun suami," kata Kustini usai pemaparan hasil penelitian dan pengembangan tahun 2009-2014 di Kemenag, Jakarta, Senin.

Menurut dia, masih banyak anggapan bahwa pria harus selalu berperan sebagai kepala keluarga, atau orang yang bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan keluarga, baik dari sisi perlindungan secara fisik dan khususnya secara ekonomi.

Namun, dalam kenyataannya, banyak ditemukan kisah di mana seorang istri juga ikut menanggung beban ekonomi keluarga karena penghasilannya lebih tinggi dari suami atau sang laki-laki tidak memiliki pekerjaan karena, misalnya, pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Itu sebenarnya bukan sesuatu yang jelek, bukan pula berarti si istri lebih berkuasa dibanding suami. Keadaanlah yang mengharuskan itu terjadi," ujar Kustini.

Banyak suami tidak bisa menerima seperti ini dan berujung pada timbulnya konflik. Padahal, tutur Kustini, berdasarkan penelitian kualitatif Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag di tujuh daerah yaitu Aceh, Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi, Ambon, Padang pada 2010-Maret 2015, para istri menganggap tidak masalah jika merekalah yang mencari nafkah untuk keluarga.

Sebaliknya suami tetap berusaha bertanggung jawab terhadap keluarga, seperti memberikan perhatian kepada anak-anak dan tidak melakukan tindakan negatif seperti melakukan kekerasan, berjudi ataupun mengonsumsi narkoba.

Oleh karena itu, Kustini meminta pengetahuan ini dipahami oleh semua calon pengantin di masa pranikah untuk mencegah perselisihan yang menimbulkan perpisahan.

Sementara Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Badilag MA) mencatat bahwa dalam rentang waktu empat tahun (2010-2014) ada hampir 300.000 kasus perceraian yang diselesaikan oleh Pengadilan Agama (PA), atau sekitar 15 persen dari dua juta pasangan yang terdaftar.

Dari jumlah tersebut Kemenag menemukan 60-80 persen gugatan perceraian dilakukan perempuan (cerai gugat) dan sisanya oleh laki-laki (cerai talak) dan disebabkan oleh lima faktor utama yaitu tidak adanya keharmonisan, tidak ada tanggung jawab, masalah ekonomi, gangguan pihak ketiga dan cemburu.

Pewarta: Michael Siahaan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015