Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 200 orang melakukan unjukrasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa, menolak kedatangan Dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Pascal Lamy pada 20-21 Februari 2007 karena organisasi itu mereka nilai telah menyengsarakan rakyat dan petani. Para pengunjukrasa yang menamakan dirinya Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Lawan Nekolim), antara lain terdiri dari Federasi Serikat Petani Indonesia, Aliansi Buruh Menggugat, Koalisi Anti Utang, Barisan Rakyat Kuningan dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia. Para pengunjukrasa membawa spanduk yang antara lain berbunyi, "Tegakkan Kedaulatan Pangan, Tolak Impor Beras", "Pascal Lamy, Neoliberal Agen", "Tanah untuk Petani", dan "WTO Membunuh Petani". Ketika melakukan unjukrasa mereka juga menggelar aksi teaterikal dan bersujud di depan sesosok mayat yang telah dibungkus dengan kain kafan. Mayat itu menggambarkan petani yang menjadi korban kebijakan-kebijakan WTO. "Di berbagai negara WTO memakan banyak korban petani," kata salah seorang pengunjuk rasa saat melakukan orasi. Dalam keterangan tertulis Gerak Lawan menyebutkan sejak WTO berdiri tahun 1995, sekitar 80 persen lebih volume perdagangan bebas dunia diraup oleh perusahan transnasional raksasa, yang artinya upaya untuk mewujudkan pekerjaan dan kesejahteraan rakyat tidak terwujud. Perundingan-perundingan mulai dari Seattle, Cancun, Hongkong, dan Geneva juga mandeg yang berarti meningkatkan jurang kemiskinan. Di antara batu sandungan utama negoisasi adalah pertanian. Disebutkan, Indonesia yang merupakan salah satu "pentolan" kelompok negara G-33 dianggap WTO bisa mengurai benang kusut perundingan rezim perdangan dunia itu. Proposal G-33 dengan produk khusus dan mekanisme pengamanan khusus (SP/SSI) adalah salah satu isu mengemuka yang memacetkan perundingan. Proposal ini sudah ditentang banyak negara, mulai dari AS, Uni Eropa, hingga Australia. Di lain pihak, SP/SSM ternyata bukanlah konsep yang cukup maju untuk mengatasi kerugian petani kecil di seluruh dunia. Petani, kata mereka, tidak hanya tidak menginginkan SP/SSM tetapi WTO harus keluar dari pertanian karena ekspansi pasar pertanian internasional telah membuat untung AS, Eropa dan perusahaan-perusahaan besar. Produk murah dari perusahaan besar masuk ke pasar domestik negara miskin. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007