Jakarta (ANTARA News) - Lilik Purnomo dan Irwanto Irano, dua terdakwa perencana pembunuhan terhadap tiga siswi SMU Poso, Sulawesi Tengah, masing-masing dituntut hukuman 20 tahun penjara. Tuntutan tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum(JPU) Puji Raharjo pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu. Dalam tuntutannya, JPU meminta agar majelis hakim memutuskan bahwa kedua terdakwa terbukti melakukan tindak pidana terorisme seperti yang tercantum dalam dakwaan pertama, pasal 15 jo pasal 7 Perppu No 1 Tahun 2002 jo UU No 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. JPU menyatakan terdakwa terbukti melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembunuhan terhadap tiga siswi SMU Poso, karena terdapat waktu yang cukup antara perencanaan yang dilakukan oleh kedua terdakwa dengan pelaksanaan pembunuhan. "Sebelumnya telah terjadi permufakatan untuk mencari korban. Setelah ada permufakatan, dilakukan empat kali survei dan juga pembelian enam parang sebelum dilakukan eksekusi," kata Puji. JPU juga menyatakan perbuatan terdakwa yang secara sengaja menggunakan kekerasan untuk menyebarkan teror secara luas telah terpenuhi, karena akibat terbunuhnya tiga siswi SMU Poso itu, masyarakat setempat ada yang sampai mengungsi dan bahkan memindahkan anaknya untuk bersekolah di desa lain. JPU menyatakan hal yang memberatkan terdakwa adalah, perbuatan mereka tergolong sadis dan tidak berkeprimanusiaan, yang menyebabkan tewasnya tiga orang, yaitu Alfito Polino, Theresia Morangki, dan Yarni Sambue, serta Noviana Malewa yang menderita luka-luka. Sedangkan hal yang meringankan para terdakwa, menurut JPU, keduanya telah mengakui perbuatan mereka dan tidak mempersulit jalannya persidangan. Selain itu, perbuatan para terdakwa juga telah dimaafkan oleh keluarga korban. Lilik Purnomo dan Irwanto Irano didakwa menerima perintah dari "otak" pembunuhan, Hasanuddin, untuk mencari sasaran pembunuhan yang tepat. Selama beberapa hari, Lilik dan Irwanto kemudian melakukan survei untuk menemukan target yang tepat. Keduanya menemukan enam siswi SMU Kristen Poso yang setiap hari berjalan kaki melalui jalan setapak dari rumah mereka di Kampung Bukit Bambu, ke sekolah mereka yang berada di wilayah Sayo. Lilik dan Irwanto setidaknya melakukan empat kali survei untuk mengamati jalan setapak yang setiap hari dilalui oleh keenam siswi tersebut dan juga mengamati aktivitas lalu-lalang masyarakat di sekitar jalan setapak itu. Keduanya kemudian membeli enam parang seharga Rp180 ribu dan dua pak plastik hitam berukuran besar seharga Rp20 ribu di pasar sentral Poso dengan menggunakan uang yang berasal dari Hasanuddin. Setelah survei keempat, Lilik dan Irwanto merekrut Papa Yusron alias Isran, Nanto alias Bojel, Agus Jenggot, Basri, dan Wiwin Kalahe alias Tomo, untuk melaksanakan rencana mereka. Pada Sabtu, 29 Oktober 2005, sekitar pukul 05.14 WITA, Irwanto dan Lilik beserta lima teman mereka yang baru direkrut berangkat dari rumah Irwanto menuju jalan setapak yang biasa dilalui oleh enam siswi SMU yang dijadikan target oleh mereka. Lilik berperan sebagai koordinator lapangan dan menunjuk Irwanto untuk memimpin tim penyergap yang beranggotakan Basri, Agus, Bojel, dan Papa Yusran. Sekitar pukul 06.45 WITA, mereka melihat empat siswi yang mengenakan seragam pramuka, yaitu Alfito Polino, Theresia Morangki, Noviana Malewa, dan Yarni Sambu. Setelah mendapatkan aba-aba dari Lilik, mereka kemudian melakukan penyergapan. Papa Yusran memenggal kepala Alfita Polino dengan parang sehingga terpisah dari badannya, Agus Jenggot memenggal kepala Theresia Morangki dengan parang hingga terpisah dari badannya. Sedangkan Basri memburu Noviana Malewa, namun Noviana hanya terkena tebasan parang di pipi kanannya dan berhasil meloloskan diri. Basri kemudian memburu Yarni Sambua dan memenggal kepalanya hingga terpisah dari badannya. Dalam dakwaan pertama primer, Lilik dan Irwanto didakwa dengan pasal 15 Perppu No 1 Tahun 2002 jo pasal 1 UU 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Sedangkan pada dakwaan pertama subsider, mereka dijerat pasal 15 jo pasal 7 UU yang sama. Dalam dakwaan kedua primer, mereka dijerat pasal 340 KUHP tentang secara sengaja berencana menghilangkan nyawa orang lain, yang ancaman maksimalnya hukuman mati. Pada sidang Senin, 19 Februari 2007, Hasanuddin telah dituntut hukuman serupa, 20 tahun penjara. Kuasa hukum Lilik dan Irwanto, Abubakar Rasyid, menilai tuntutan JPU terlalu berat karena kliennya bukan pelaku langsung pemenggalan dan hanya menerima perintah dari Hasanuddin. Majelis hakim yang diketuai oleh Liliek Mulyadi menunda sidang hingga Senin, 5 Maret 2007 untuk pembacaan pembelaan dari terdakwa dan kuasa hukum mereka. (*)

Copyright © ANTARA 2007