Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Didi Widayadi mengatakan bahwa audit BPKP pada 2006 menemukan 531 kasus penyelewengan berindikasi korupsi dengan nilai kerugian negara lebih dari Rp2,5 triliun. "Kerugian keuangan negara dari audit BPKP dan bantuan BPKP kepada instansi penyidik menjadi total lebih dari Rp2,5 triliun," kata Didi di Jakarta, Rabu. Dia menambahkan, audit BPKP atas permintaan instansi penyidik, pengembangan audit, atau permintaan masyarakat pada 2006 menemukan adanya penyelewengan berindikasi korupsi sebanyak 181 kasus dengan nilai kerugian negara Rp666,69 miliar dan 40 ribu dolar AS. Sedangkan audit BPKP sebagai bantuan penghitungan kerugian keuangan negara kepada instansi penyidik sebanyak 350 kasus juga menemukan penyelewengan berindikasi korupsi dengan nilai Rp1,871 triliun, 46,05 juta dolar AS, dan 5,33 ringgit Malaysia. Dari 181 kasus yang diaudit BPKP yang kemudian dilimpahkan ke instansi penyidik (Kejaksaan/Kepolisian/KPK), katanya, 146 kasus dalam penyelidikan, 32 kasus dalam penyidikan, dan 3 kasus telah diputus. Namun, Didi tidak menjelaskan secara detil pada instansi pemerintah mana saja penyelewengan berindikasi korupsi tersebut ditemukan. Inventarisasi BNM Dalam kesempatan itu, Didi juga menjelaskan pihaknya telah melakukan inventarisasi Barang Milik Negara (BNM) sebagai tindak lanjut dari temuan BPK pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2005, terhadap Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan inventarisasi pada 2006, katanya, BMN di Depdiknas tercatat Rp21,5 triliun atau naik Rp9 triliun dari nilai BNM berdasarkan hasil audit BPK per 31 Desember 2005. Sedangkan inventarisasi BNM di Depkominfo juga mencatat Rp947,33 miliar, lebih tinggi dari posisi tahun lalu Rp416,75 miliar. "Hal itu mengindikasikan bahwa pencatatan BNM di departemen/LPND selama ini belum tertib sehingga perlu dibenahi secara menyeluruh termasuk pengelolaan BNM di daerah yang pengadaannya bersumber dari dana dekonsentrasi yang seharusnya dicatat di neraca pemerintah pusat sebelum diserahkan ke daerah," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007