Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang memperoleh ketidakadilan, dibuang, tidak diakui kewarganegaraan padahal mereka sendiri bukan komunis."
"Waktu mengubah banyak hal. Waktu berubah, politik berubah, ilmu pengetahuan berubah. Hanya cinta dan musik yang tidak pernah berubah," ujar Jaya kepada Laras saat mereka berjalan di Kota Praha, Republik Ceko.

Dalam film "Surat dari Praha", Jaya atau Mahdi Jayasri (diperankan Tyo Pakusadewo) dan Laras atau Kemala Dahayu Larasati (Julie Estelle) dipertemukan atas wasiat mendiang ibunda Laras yang meminta sang putri mengantarkan sebuah kotak kayu berisi surat-surat serta sepucuk surat dari dirinya, untuk Jaya.

Tanpa mengetahui siapa orang yang akan ditemuinya, Laras yang sejak kecil tidak pernah akur dengan ibunya, Sulastri Kusumaningrum (Widyawati), terpaksa meluluskan keinginan sang ibu demi kepentingan pribadinya.

Namun, niat dan rencana Laras mengantarkan surat ibunya ternyata tidak semudah yang ia bayangkan.

Pertemuannya dengan Jaya, seorang mantan mahasiswa ikatan dinas (MAHID) yang terpaksa kehilangan kewarganegaraannya karena menolak pemerintahan Orde Baru, ternyata menjawab segala pertanyaan tentang konflik dalam keluarganya.

Terlahir menjadi perempuan bersifat keras dan berpikiran sangat rasional, serta merta Laras menumpahkan segala kemarahan yang sekian lama bersarang dalam dirinya kepada Jaya, menghakiminya dengan penilaian pribadi tanpa berusaha menempatkan diri di posisi pria yang puluhan tahun menjalani hidup dalam kesepian dan kesendirian itu.

Di sisi lain, Jaya yang mengaku telah mengikhlaskan dan memaafkan segala yang terjadi atas dirinya, merasa tidak terima dengan segala tuduhan yang dilancarkan Laras.

Digambarkan sebagai tokoh yang rumit dan sarat dengan duka, Jaya menjadi tidak berdaya saat kehadiran Laras kembali membangkitkan ingatan dan rindunya akan sosok cinta sejatinya, Sulastri.

Akankah Laras dan Jaya, dua orang yang berjarak rentang usia dan memiliki konflik pribadi dalam diri masing-masing, menemukan jalan rekonsiliasi mereka?

Diilhami Lagu Glenn Fredly
"Surat dari Praha" merupakan film bergenre romantis garapan sutradara Angga Dwimas Sasongko yang diilhami dari empat lagu karya musisi kondang Tanah Air, Glenn Fredly.

Lagu berjudul "Sabda Rindu", "Nyali Terakhir", "Untuk Sebuah Nama", dan "Menanti Arah" sengaja dipilih oleh sang sutradara untuk menggambarkan kisah cinta berlatar belakang peristiwa politik 1965.

"Berbeda dari ketiga lagu lainnya,lagu berjudul Menanti Arah sangat sempurna untuk menjahit keseluruhan cerita dimana dalam lagu ini Glenn tidak hanya bicara tentang cinta namun ia lebih bicara dalam konteks sosial dan politik," ujar Angga.

Lirik dalam lagu tersebut yang antara lain berbunyi "negeriku gelap histori" dan "kebencian jadi ideologi" dianggap Angga mampu menggambarkan kehidupan Jaya yang terpaksa hidup dalam pengasingan selama berpuluh tahun sebagai imbas konflik ideologi Indonesia.

Sedangkan lagu "Sabda Rindu" dan "Nyali Terakhir" yang dalam film tersebut dinyanyikan tokoh Laras, menggambarkan perasaan cinta mendalam antara Jaya dengan ibu Laras, Sulastri.

Film bergenre romantis yang juga dibintangi oleh aktor Rio Dewanto (sebagai Dewa) dan Chicco Jerikho (sebagai mantan suami Laras) itu dibuat sebagai retrospektif terhadap 20 tahun Glenn Fredly berkarya di dunia musik.

Glenn merasa sangat bahagia bisa bekerjasama dengan Angga yang dianggapnya seorang sutradara yang pandai meramu sebuah cerita.

"Angga mengambil lagu-lagu saya yang bukan menjadi hits. Buat saya ini sebuah pencapaian yang membanggakan, bisa bekerjasama dengan orang-orang yang punya kesamaan visi dan hati. Berkarya tidak hanya untuk kepentingan komersial tetapi juga mengutamakan idealisme," tutur Glenn.

Berawal dari sebuah obrolan antara dirinya, Angga, penulis naskah M Irfan Ramli, dan salah satu produser Anggia Kharisma tentang kekisruhan politik Indonesia masa 1965, Glenn menilai film "Surat dari Praha" merupakan sinergi sempurna setelah bekerjasama dengan Angga dalam dua film sebelumnya yaitu "Cahaya dari Timur: Beta Maluku" (2014) dan "Filosofi Kopi" (2015).

Alternatif Tuturkan Sejarah

Keingintahuan Angga Dwimas terkait peristiwa politik 1965 dan kesempatan menonton film pendek karya sutradara Farishad Latjuba berjudul "Klayaban" yang menceritakan sekitar orang-orang Indonesia yang pergi dari Indonesia karena peristiwa 1965, merupakan ide awal penggarapan "Surat dari Praha".

Selain menonjolkan kekuatan cerita dan musik, film yang mulai dirilis di seluruh bioskop Indonesia pada 28 Januari mendatang itu juga diciptakan sebagai alternatif menuturkan sisi lain terkait sejarah konflik politik pada masa 1965, yang selama ini belum terungkap ke publik.

"Kisah dan narasi tentang peristiwa 65 adalah pengalaman, materi penting untuk dipelajari dan direnungkan sehingga kita sebagai komunitas bangsa mampu memperbaiki diri," ujar Angga Dwimas.

Ia juga menegaskan bahwa "Surat dari Praha" tidak dibuat untuk memupuk kebencian atau bertendensi memperkeruh sejarah atau politik, melainkan untuk menuturkan sejarah melalui pendekatan yang halus dengan mengombinasikan musik, romansa, serta cinta.

Keputusan sutradara film terbaik FFI 2014 "Cahaya dari Timur: Beta Maluku" itu untuk mengangkat sisi lain kehidupan orang-orang Indonesia yang terasing di Praha, Republik Ceko, bukannya tanpa alasan.

"Kita punya stigma bahwa orang-orang eksil itu identik dengan PKI atau komunis, tetapi yang di Praha ini bukan. Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang memperoleh ketidakadilan, dibuang, tidak diakui kewarganegaraan padahal mereka sendiri bukan komunis," ujar Angga.

Demi menyuguhkan sebuah kisah yang apik, Angga dan penulis naskah M Irfan Ramli menjalani proses pengerjaan film selama tiga tahun, termasuk riset dan berdiskusi dengan sumber primer yakni para mantan eksil politik di Praha.

"Orang-orang ini masih hidup, masih sehat, dan bisa menceritakan kisah hidup mereka secara mendetail. Dari situ kami punya banyak materi primer sebagai bahan penulisan naskah," ujar alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia itu.

Ia berharap film terbarunya itu dapat melawan stigma negatif tentang orang-orang yang diasingkan sebagai imbas konflik ideologi pascaperistiwa 1965 dan mengajak generasi muda melihat sisi lain dari sejarah kelam bangsa Indonesia.

"Saya ingin berbagi kepada penonton tentang kisah mereka, keberanian mereka memutuskan menolak pemerintahan Orde Baru dengan segala konsekuensi yang mereka terima, termasuk saat dicabut kewarganegaraannya dan tidak bisa pulang ke Tanah Air," kata dia.

Salah seorang mantan eksil politik yang turut berperan dalam pembuatan film "Surat dari Praha" yaitu Rony Marton atau Surjo Martono (72), yang saat konflik 1965 terjadi, ia masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan ekonomi yang sedang menempuh pendidikan di Praha.

Rony dan sekitar 100 orang mahasiswa dari total 200 mahasiswa Indonesia di Republik Ceko pada saat itu, memutuskan untuk tidak menandatangani surat pernyataan yang intinya mendukung pemerintahan Orde Baru.

"Kami tidak mau (tanda tangan) karena kami berpendapat Orde Baru ini tidak beres," tuturnya.

Meskipun menyadari segala konsekuensi yang akan dihadapi, termasuk kehilangan kewarganegaraan, pada saat itu Rony dan kawan-kawannya tersulut gelora jiwa muda mereka untuk mempertahankan ideologi dan memilih apa yang mereka yakini.

Rony baru bisa kembali menjenguk keluarga dan kerabatnya di Tanah Air pada 1998, saat Presiden Soeharto sebagai simbol pemerintahan Orde Baru lengser.

Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan berkewarganegaraan Ceko itu kini memilih tinggal di Praha bersama istri, ketiga anak, serta cucu-cucunya.

Meskipun begitu, ia mengaku bahwa hati dan cintanya selalu tertambat pada Indonesia, negeri tempatnya lahir dan dibesarkan.

"Bagi saya, Surat dari Praha adalah pencapaian tersendiri, dimana generasi muda Indonesia bisa melihat sisi lain sejarah bangsanya," ujar Rony yang dalam film tersebut menyanyikan dua lagu klasik yakni "Di Wajahmu Ku Lihat Bulan" dan "Indonesia Pusaka".

Oleh Yashinta Difa P.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016