Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terikat perjanjian kerahasiaan dengan rekanan penyedia alat sadap soal informasi merk dan jenis alat yang dibeli oleh KPK. Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III di Gedung DPR, Jakarta, Senin, mengatakan bahwa perjanjian kerahasiaan itu tertuang dalam kontrak kerjasama antara KPK dan agen, pabrikan dmaupun KPK, serta antara agen dan pabrikan. Kontrak itu, kata Ruki, menyebutkan setiap pihak harus merahasiakan segala informasi tentang usaha, pemasaran, teknis, pengetahuan dan informasi lain yang berkaitan dengan alat itu. Perjanjian kerahasiaan untuk mencegah kebocoran pengetahuan dan teknologi tentang kemampuan dan kapasitas alat tersebut merupakan salah satu alasan dilakukannya penunjukan langsung dalam pengadaan alat penyadap di KPK. "Selain itu, Lawful Interception Devices merupakan perangkat kompleks dengan teknologi khusus yang spesifik," kata Ruki, menanggapi tentang peralatan sadap yang dipesan KPK. Menurut Ruki, pengadaan alat penyadap itu telah sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mengatur penunjukan langsung pekerjaan yang perlu dirahasiakan dan menyangkut pertahanan, serta keamanan negara. Sebelum proses pengadaan dimulai, Ruki menjelaskan, KPK telah lebih dahulu melaksanakan studi pemilihan alat dengan cara mengunjungi pabrikan dan survei harga untuk menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Sebagai tahap persiapan pengadaan, KPK juga memohon penetapan penunjukan langsung dari Presiden, yang kemudian disetujui. Ruki menjelaskan, harga alat penyadap di KPK sebesar Rp28,07 miliar, yang terdiri atas satu unit pusat pemantau (monitoring center) senilai Rp17,31 miliar, dan tiga unit alat jinjing (portable) senilai masing-masing Rp1,51 miliar, Rp5,25 miliar dan Rp4 miliar. Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Amien Sunaryadi, mengatakan bahwa perjanjian kerahasiaan dengan rekanan penyedia alat sadap merupakan hal yang wajar di negara mana pun. "Kerahasiaan itu juga menyangkut kepentingan perusahaan alat sadap, agar teknologi mereka tidak bocor ke tangan saingannya," kata Amien. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan alat sadap dan KPK, kata dia, terdapat klausul yang mengatur bahwa perusahaan tersebut akan mengembalikan kelebihan harga yang ditawarkan kepada KPK, apabila terbukti bahwa perusahaan itu menjual alat dengan jenis dan merek yang sama kepada pihak lain dengan harga yang lebih murah. Menanggapi pertanyaan para anggota Komisi III mengenai prosedur penyadapan oleh KPK, Amien mengatakan, sampai saat ini memang belum ada satu pun UU di Indonesia yang mengatur rincian mekanisme penyadapan. UU Nomor 30 Tahun 2002, katanya, KPK diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, sehingga diambil inisiatif, agar Menteri Komunikasi dan Informatika mengeluarkan peraturan tentang informasi rahasia yang diperoleh melalui penyadapan. Dalam aturan menteri itu, menurut dia, nantinya akan dibentuk suatu komisi pengawas yang memantau prosedur penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum. Menurut Amien, penyadapan terhadap seseorang hanya bisa dilakukan setelah adanya surat perintah penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan yang ditandatangani oleh pimpinan KPK. Selain itu, ia menambahkan, ada satu pejabat khusus di KPK yang bertugas memantau seluruh kegiatan penyadapan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007