Jakarta (ANTARA News) - Revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sedang dirancang pemerintah memasukan bukti informasi elektronik dan perdagangan senjata ke dalam pasal revisi.

Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana di Jakarta, Kamis, mengatakan informasi elektronik terkait adanya dugaan tindakan terorisme dapat digunakan sebagai bukti untuk melakukan penangkapan.

Selain itu Widodo juga menyebut tentang perdagangan senjata yang memiliki tujuan untuk tindakan terorisme juga dapat dijerat undang-undang.

"Kedua, soal perdagangan senjata. Dengan sengaja memperdagangkan senjata untuk tujuan terorisme," kata dia.

Widodo juga mengungkapkan adanya penambahan pasal tentang kewenangan ekstra teritorial aparat penegak hukum untuk menangkap terduga pelaku teror.

"Ekstra teritorial, jadi (terduga teroris) warga negara (asing) yang ada di sini bisa kita tangkap," ujar Widodo.

Ia juga menambahkan adanya penambahan masa penahan bagi teduga pelaku teror sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Widodo menyebut masa penahanan menjadi 120 hari yang dibagi menjadi dua termin.

"Penambahan penahanan jadi 120 hari, 60 (hari) ditambah 60 (hari)," ujar dia.

Sementara yang lainnya masih sama seperti yang disebutkan sebelumnya antara lain pencabutan paspor atau kewarganegaraan WNI yang melakukan tindak terorisme atau berlatih perang secara ilegal di luar negeri.

Pada hari ini, tim perancang UU Antiterorisme kembali melakukan rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Rancangan revisi undang-undang tersebut masih akan difinalisasi lagi pada Jumat (29/1) sebelum diserahkan pada Presiden pada pekan depan.

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016