Jakarta (ANTARA News) - Indonesia perlu memiliki badan khusus anti-teror yang mewaspadai bukan hanya terorisme konvensional, tetapi teror memanfaatkan senjata bio teknologi (bio terorisme) dan Teknologi Informasi (TI), kata Ketua Komisi I DPR RI, Theo L. Sambuaga. "Jepang, Inggris dan Amerika Serikat sendiri telah pernah mengalami serangan terorisme menggunakan senjata biologi yang berwujud penyebaran aneka virus mematikan bagi manusia, juga serangan-serangan melalui teknologi informasi," ujarnya, di Jakarta, Senin. Ia mengemukakan hal itu berkaitan dengan rencana Pemerintah Australia dan Indonesia menggelar pertemuan menteri-menteri di kawasan kedua wilayah menghadapi gerakan terorisme internasional. Theo mengakui, memang belum mendapat fakta jelas tentang telah bergeraknya aksi bio terorisme, seperti apakah itu melalui penyebaran virus flu burung, virus dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS), infeksi saluran pernafasan sangat akut (SARS). "Tetapi, aparat kita harus tetap waspada dan mencermatinya. Itulah sebabnya di lingkup TNI sejak dulu kan sudah ada Divisi Nubika, yakni Nuklir, Bio Teknologi, Kimia. Perankan itu secara maksimal. Amat berbahaya, jika nanti sudah terlanjur berkembang, baru kita sadar," kata mantan Presiden Komisi Politik dan Perlucutan Senjata, Uni Parlemen se-Dunia (IPU) tersebut. Di sela-sela persiapan Rapat Kerja (Raker) Komisi I DPR RI dengan jajaran Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Theo juga mengingatkan, dengan memperagakan terorisme konvensional saja, banyak negara, termasuk Indonesia, kewalahan, karena bukan sedikit korban material, prasarana dan sarana, serta nyawa manusia yang berdampak membuat tekanan psikologi masyarakat, sehingga merasa hidupnya tidak aman. "Terorisme konvensional dengan penggunaan cara-cara bom pesawat, bom mobil, bom bunuh diri dan sejenisnya sudah merepotkan kita, apalagi sudah pada taraf meningkat dengan menggunakan senjata bio teknologi, terlebih serangan melalui penggunaan teknologi informasi," katanya. Indonesia, dan beberapa negara di Asia Tenggara telah mengalami banyak masalah dengan operasi-operasi terorisme internasional, yakni melalui peledakan bom di beberapa tempat yang merusak prasarana sarana, jatuhnya ratusan korban manusia serta berhasil membuat tekanan psikologi berwujud terkoyaknya ketenteraman hidup masyarakat. Oleh karena itu, Theo menilai, aspek keberhasilan membuat psikologi massa terganggu dan merasa hidup tidak nyaman merupakan tujuan akhir gerakan terorisme itu. "Makanya, kerjasama antar-negara sebagaimana diprakarsai bersama Australia dan Indonesia, yang kemudian melibatkan wakil-wakil Malaysia, Thailand, Filipina dan lain-lain, patut didukung. Perlu gerakan bersama menghadapi terorisme internasional yang juga terus mengembangkan kualitas serangan semakin berbahaya," ujarnya. Sehubungan dengan perkembangan gerakan terorisme itu pula, Theo mengemukakan, Pemerintah perlu didesak untuk dapat merealisasikan usulan parlemen guna membentuk semacam badan khusus anti-teror. "Badan ini bukan bersifat koordinatif semata sebagaimana bentuk badan-badan lain yang jadi tradisi di Indonesia. Tetapi, benar-benar badan yang berfungsi, langsung di bawah kendali dan bertanggungjawab kepada presiden selaku user utama atas nama rakyat. Ini waktunya, jangan nanti sesudah muncul banyak masalah, baru bertindak," kata Theo. Badan khusus anti-teror inilah, menurut politisi Partai Golongan Karya (Golkar) itu, yang nantinya mendapat otoritas penuh untuk mendeteksi, mencermati, menangkal dengan melakukan operasi-operasi intelijen, serta menanggulangi segala bentuk kegiatan terorisme internasional di Tanah Air. "Kita harus lindungi negara dan seluruh rakyat dari rasa tidak aman, dan karenanya badan ini mendesak untuk dibentuk, yang di dalam operasionalisasinya, juga tentu bisa menjalin pengembangan kerjasama secara dinamis dengan negara sahabat," demikian Theo L. Sambuaga. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007