Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung siap membentuk penyidik kasus hilangnya aktivis periode 1997-1998 sebagai tindak lanjut terbentuknya Pansus untuk menangani hal itu sebagaimana diputuskan oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada Selasa, 27 Februari 2007. "Kalau dapat perintah membentuk penyidik HAM Ad Hoc, ya kita bentuk," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus)Hendarman Supandji, di Jakarta, Selasa sore. Sebelumnya, banyak pihak menuding Kejaksaan enggan menangani kasus hilangnya 13 aktivis itu karena tidak menindaklanjuti temuan Komnas HAM, namun Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membantah tudingan itu. Menurut Jaksa Agung, kasus dugaan pelanggaran HAM berupa penghilangan orang dan penculikan aktivis pada periode 1997-1998 itu terjadi sebelum diundangkannya UU No26/2000 tentang Pengadilan HAM, sementara pasal 43 undang-undang itu menyatakan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU No 26/2000 itu diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, yang dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keppres. JAM Pidsus mengatakan pelanggaran HAM dikategorikan dua jenis yaitu pelanggaran biasa dan berat. "Yang HAM biasa itu pembunuhan, penculikan, sementara HAM berat itu genocide dan kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Hendarman. Lebih lanjut ia mengatakan, bila DPR sudah menyebut terjadi pelanggaran HAM nantinya Kejaksaan yang melakukan klarifikasi. "Setelah pansus menentukan HAM berat atau tidak, nanti diajukan ke Presiden untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc sesuai rekomendasi DPR itu. Lalu kita akan bekerja," kata JAM Pidsus. Disinggung mengenai pengembalian temuan Komnas HAM, ia mengatakan, hal itu karena belum ada pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam rapat kerja terakhir Komisi III dan Kejaksaan Agung, 29 Januari lalu, Abdul Rahman Saleh menegaskan pihaknya tak akan menyidik kasus hilangnya 13 aktivis 1997-1998 sebelum ada rekomendasi politik DPR membentuk peradilan HAM Ad Hoc. Menurut Jaksa Agung, penyidikan tak bisa dilakukan hanya berdasarkan pada kesimpulan Komnas HAM. Yang menentukan kasus itu merupakan pelanggaran HAM berat atau ringan adalah DPR seperti Pansus untuk kasus Trisakti-Semanggi I dan II. Seperti pernah diberitakan, Komnas HAM menemukan bukti permulaan yang cukup mengenai terjadinya pelanggaran HAM berat terhadap kasus hilangnya sejumlah aktivis pada 1997-1998. Sedikitnya tercatat 13 orang telah menjadi korban penghilangan secara paksa yang hingga kini nasibnya belum diketahui di antaranya Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Wiji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser. Komnas HAM juga menemukan 27 nama yang diduga bertanggung jawab dalam kasus tersebut di antaranya Sekjen Departemen Pertahanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Panglima Kodam Jaya) dan mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto. Komnas HAM sudah menyerahkan laporan penyelidikan tersebut kepada Jaksa Agung pada akhir Desember 2006 lalu namun Kejaksaan Agung kemudian belum menindaklanjutinya dengan tindakan penyidikan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007