Jakarta (ANTARA News) - Penyelesaian masalah perbatasan antara RI dan Singapura harus menjadi prioritas bagi kedua negara, dengan mengharuskan Singapura memberi kompensasi atas pelanggaran yang terjadi terkait perubahan batas daratan dan pencurian pasir untuk kebutuhan reklamasi pantai negara kota itu. Permintaan itu disampaikan anggota Komisi I DPR dari Fraksi PAN, Dedy Djamaluddin Malik, di Jakarta, Rabu, menanggapi pernyataan Menko Polhukam, Widodo AS, yang menempatkan masalah perbatasan RI dengan sejumlah negara sebagai salah satu agenda keamanan nasional utama Indonesia. "Untuk sementara, kita harus menyelesaikan dengan cara G to G (government to government) lewat kompensasi yang harus diberikan Singapura kepada Indonesia. Tetapi lebih dari itu, sesungguhnya undang-undang perbatasan sudah mendesak mengingat zona ekonomi eksklusif mengharuskan kejelasan batas-batas wilayah antar negara," katanya. Menunjuk kasus batas wilayah RI-Singapura yang belum terselesaikan, Dedy mengatakan jika tidak segera ditangani, masalah itu berpotensi menimbulkan intervensi Singapura dengan segala kelicikannya, mengingat kekuatan ekonominya yang cenderung semakin besar sedangkan Indonesia belum kuat. Sebelumnya, Menko Polhukam Widodo AS dalam rapat kerja dengan para anggota Komisi I DPR, 26 Februari lalu, menjelaskan tiga agenda utama keamanan nasional saat ini adalah pencegahan dan penindakan terorisme, pengamanan perbatasan serta maksimalisasi pemberdayaan pulau-pulau terdepan. Secara terpisah, Wakil ketua Komisi I DPR, Tosari Widjaja (Fraksi PPP), mengungkapkan Badan Legislasi DPR telah menyusun RUU Batas Wilayah RI. "Dalam waktu dekat akan dilaporkan ke paripurna untuk menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Selanjutnya RUU itu dibahas bersama pemerintah," katanya. Masalah batas wilayah RI-Singapura kembali mencuat dan menjadi wacana publik menyusul adanya protes Pemerintah Singapura kepada Indonesia. Singapura menuduh RI telah menggunakan isu ekspor pasir untuk menekan negara kota itu dalam negosiasi tentang perjanjian ekstradisi. Pemerintah RI menegaskan bahwa masalah pelarangan ekspor pasir dari Indonesia terkait dengan kelestarian lingkungan hidup. Pemerintah RI telah pun mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah dan Top Soil yang berlaku efektif sejak 23 Januari 2007. Dalam peraturan tersebut, empat nomor pos tarif (harmonize system/HS) yang dilarang ekspor, di antaranya pasir alam, pasir silika, pasir kwarsa, dan tanah liat. Akibat ekspor (legal maupun illegal) pasir ke Singapura, kini telah ada daratan baru negara itu yang menjorok sekitar 12 mil laut ke arah wilayah kedaulatan RI. (*)

Copyright © ANTARA 2007