Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Zulkarnain Yunus, Sekretaris Jendral (Sesjen) Departemen Hukum dan HAM (Depkumham), berkaitan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan alat pembaca sidik jari otomatis (AFIS). Usai diperiksa sebagai tersangka selama lima jam, di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Jumat, penyidik KPK membawa Zulkarnain ke Rumah Tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara RI (Rutan Bareskrim Mabes Polri), Jakarta, sekira pukul 14.45 WIB. Zulkarnain, yang mengenakan setelan safari berwarna hitam, sama sekali tidak mau berkomentar kepada wartawan. Kuasa hukum Zulkarnain, Hironimus Dani, mengaku kecewa atas penahanan kliennya itu, karena pemeriksaan belum selesai. "Tadi pemeriksaan belum selesai, tahu-tahu BAP (Berita Acara Pemeriksaan) ditutup, dan dikatakan klien saya ditahan," ujarnya. Kepada wartawan, Hironimus tidak mau membeberkan materi pemeriksaan terhadap kliennya maupun alasan yang dijadikan penyidik untuk menahan Zulkarnain Yunus. "Untuk materi, saya belum bisa bicara, karena pemeriksaan belum selesai," ujarnya. Zulkarnain ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Depkumham saat pengadaan Automatic Finger-print Identification System (AFIS dilaksanakan pada 2004. KPK telah memerintahkan Ditjen Imigrasi Depkumham untuk mencegah tangkal (cekal) Zulkarnain sejak 23 Januari 2007, sehingga yang bersangkutan tidak diperkenankan ke luar negeri. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan AFIS tersebut, KPK telah menahan dua tersangka, yaitu kepala bagian rumah tangga dan perlengkapan Depkumham, Aji Afendi, yang menjadi pimpinan proyek, serta rekanan yang ditunjuk langsung untuk pengadaannya, Direktur Utama PT Sentral Fillindo, Eman Rahman. KPK menemukan pelanggaran terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, karena pihak Depkumham melakukan penunjukan langsung PT Sentral Fillindo tanpa adanya prakualifikasi, negosiasi harga dan penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), selain menduga terjadinya penggelembungan (mark up) harga. KPK menemukan adanya penggelembungan harga dari nilai proyek sebenarnya, Rp18,48 miliar, sehingga terjadi kerugian negara sebesar Rp6 miliar. Dalam pemeriksaan, Aji mengaku menerima uang senilai Rp375 juta dari Eman sebelum proses pengadaan dilaksanakan. Dari tangan kedua tersangka, KPK telah menyita uang tunai sebesar 90.000 dolar Amerika Serikat (AS), dan Rp375 juta, serta dua mobil sedan merk Mercedes-Benz. Selama pemeriksaan, Aji mengaku hanya menjalankan perintah atasan. Mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, dalam pemeriksaan di KPK, mengaku penunjukan langsung itu dilaksanakan berdasarkan persetujuan prinsip yang dikeluarkan olehnya. Penunjukan langsung itu, menurut Yusril, dilakukan karena keterbatasan waktu. Namun, Yusril mengatakan, persetujuan prinsip itu diberikan tanpa menyebut nama perusahaan atau jenis merk tertentu. Proses pengadaan itu, menurut Yusril, dilakukan setelah dirinya sudah tidak menjabat menteri lagi. Namun, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I tahun 2006 menyebutkan, dalam pengadaan AFIS itu, Menkum dan HAM menyetujui penunjukan langsung PT Sentral Fillindo dengan alasan perusahaan itu menguasai teknologi yang secara spesifik diperlukan untuk alat tersebut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007