Kita berharap gerhana pada tanggal 9 Maret 2016 nanti akan terjadi pergeseran dari kiri atau dari kanan sehingga dunia akan aman
Penduduk Suku Dayak Ma'anyan yang berdomisili di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, saat ini antusiastis menanti gerhana matahari.

Penduduk suku ini bakal mengamati dengan cermat fenomena alam itu karena pergerakan bulan yang menutupi sinar matahari ke Bumi nanti memesankan tanda-tanda yang penting bagi kehidupan.

Warga Dayak Ma'anyan menyebut kejadian langka ini dengan "Wulan Telen".  Mereka bisa melihat pertanda dengan tergantung dari mana pergerakan bulan yang melintasi matahari pada saat siang hari.

"Apabila bulan menutupi matahari atau mulai lindung dari bawah ke atas maka itu pertanda tidak baik," kata Darlen M. Linda (73), Damang Adat Desa Bundar, Kecamatan Dusun Utara.

Andai pergerakan gerhananya seperti disebut Darlen, maka menurut kepercayaan suku Ma'anyan, akan banyak manusia yang akan menderita berbagai macam penyakit.

"Sedangkan sawah, ladang serta kebun bisa gagal panen," sambung Darlen.

Demikian halnya bila bulan menutupi matahari mulai dari atas menuju bawah, maka pertandanya pun sangat tidak baik, yakni manusia akan saling ribut baik itu perang, berebut kekuasaan dan sejenisnya.

Sebaliknya, lanjut Darlen, jika pergerakan bulan menutupi matahari mulai dari kiri atau kanan, maka itu akan menjadi pertanda dunia akan aman, adil, makmur dan sentosa.

"Kita berharap gerhana pada tanggal 9 Maret 2016 nanti akan terjadi pergeseran dari kiri atau dari kanan sehingga dunia akan aman dari peristiwa-peristiwa yang merugikan umat manusia," kata Darlen.

Mitos naga


Suku Dayak Maanyan juga mengenal mitos seputar gerhana. Legenda rakyat yang berkembang di Ma'ayan melukiskan peristiwa itu sebagai ketika bulan atau matahari ditelan naga. Dalam konteks ini, tetua suku dan warga akan menggelar ritual khusus saat gerhana matahari.

Darlen yang merupakan tetua Desa Bundar menyebutkan, saat gerhana matahari terjadi, warga Suku Ma'ayan akan membuat sesajen dan tarian khusus.

"Masyarakat akan beramai-ramai keluar dari rumah dan melakukan tarian khusus untuk tolak bala," terqang Darlen.

Sebagian lainnya akan memukul gong, gendang dan benda-benda lainnya yang bisa mengeluarkan bunyi nyaring nan keras.

"Dengan suara bunyi-bunyian yang keras itu diharapkan naga yang menelan matahari bisa cepat-cepat mengeluarkannya lagi, sehingga bulan atau matahari bisa memencarkan cahayanya kembali," kata Darlen.

Tradisi Dayak Maanyan yang seperti ini masih diterapkan di daerah di mana Darlen berada, sedangkan tempat-temnpat lain sudah relatif meninggalkannya.

Salah seorang pemuda Dayak Ma'anyan, Asuradi, mengakui tradisi seperti memukul gong, kuali, panci lesung atau benda lainnya yang menimbulkan bunyi-bunyian keras pada saat gerhana, sudah mulai terlupakan.

"Terutama bagi masyarakat suku Dayak Ma'anyan yang berdomisili di perkotaan," kata Asuradi.

Sebaliknya, warga Dayak Ma'anyan di pedesaan, terutama mereka yang bertani dan berkebun, masih menjunjung tinggi tradisi memukul benda sampai terdengar nyaring manakala gerhana terjadi.

"Biasanya tradisi tersebut akan dilakukan oleh warga beramai-ramai dengan sendirinya tanpa ada yang memandunya," ujar Asuradi.

Ia berharap tradisi semacam ini dilestarikan, bukan hanya demi menjaga warisan budaya tetap abadi, namun juga demi anak cucu manusia.




Oleh Bayu Ilmiawan
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016