Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin, mengatakan pembahasan mengenai kerjasama kontra-terorisme yang dilakukan enam negara sub-kawasan --Indonesia, Australia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand -- masih dalam konteks makro, belum sampai ke arah teknis. "Belum sampai ke situ (teknis kerjasama hukum), masih tentang bagaimana kerjasama negara-negara ini dalam menghadapi terorisme, jadi masih dalam konteks makro, baru taraf `over view` belum membicarakan masalah teknis," kata Hamid di sela-sela konferensi tingkat menteri enam negara sub-kawasan di Jakarta, Senin. Menurut dia, perwakilan dari enam negara tersebut masih melakukan kajian terhadap potensi kegiatan kerjasama dan sejumlah kasus aksi terorisme di sub-kawasan. "Misalnya kegiatan kelompok Abu Sayyaf di Filipina," ujarnya. Saat ditanya mengenai kemajuan kerjasama kontra-terorisme di kawasan pasca pertemuan tingkat Menlu di Bali pada 2004 yang dikenal sebagai "Bali Counter-Terrorism Process", Hamid menjelaskan permasalahan kontra-terorisme akan selalu berkembang dan setiap perkembangannya terus dilaporkan. Dikatakannya proyeksi pertemuan kali ini adalah bagaimana negara-negara itu, termasuk Australia, melakukan kerjasama yang erat dalam menghadapi gerakan terorisme. "Pasti ujungnya di situ. Dalam bentuk misalnya kerja sama polisi, tukar informasi, laporan intelijen dan kegiatan di lapangan. Tentu saja juga masalah keimigrasian," katanya. Menurut Hamid, ancaman yang mungkin terjadi antara lain adalah pergerakan bebas para tersangka tindak pidana terorisme di kawasan. "Dari Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, itu hal yang konkret," katanya. Pada kesempatan itu, Hamid mengemukakan dalam pertemuan juga dibahas mengenai penggunaan teknologi modern seperti jaringan Internet. "Mereka menggunakan Internet, dan itu harus dibahas secara detil nantinya," katanya. Sementara itu pada kesempatan sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda mengatakan, pertemuan itu juga membicarakan mengenai program rehabilitasi bagi para mantan teroris yang sudah menjalani proses hukum, agar mantan teroris bisa diterima kembali di masyarakat serta tidak kembali ke jaringan terorisme. "Kita juga akan membahas mengenai bagaimana menangani mantan teroris dan menetralisirnya dengan memberikan bantuan rehabilitasi bagi mereka," katanya. Menurutnya, pertemuan yang diprakarsai oleh Indonesia-Australia itu juga akan membahas upaya kerjasama memerangi terorisme bagi enam negara yang memperoleh ancaman langsung terhadap terorisme, dengan tujuan akhirnya mencapai sebuah kesepakatan bersama antar negara untuk saling menguatkan dalam peraturan dan penegakan hukum di masing-masing negara. Lebih lanjut Hassan menjelaskan, dalam pertemuan yang berlangsung dua hari itu akan dilakukan penajaman dari kegiatan-kegiatan dan kerjasama yang ada selama ini telah dilakukan sejak tahun 2004. Di antaranya, berupaya untuk mengurangi atau meniadakan daerah-daerah konflik yang selama ini sangat aman untuk dijadikan tempat pelatihan dan kegiatan teroris. "Tidak hanya itu, bahkan sering kali daerah-daerah konflik itu dijadikan tempat yang aman untuk perdagangan senjata yang digunakan untuk melakukan teror," ujarnya. Mengenai pembicaraan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana terorisme, Hassan menyatakan, hal itu tidak menjadi agenda pembahasan dalam pertemuan tersebut, sebab masalah itu harus secara khusus dibicarakan oleh dua lembaga yang menangani keamanan yakni Kepolisian dan Intelijen. Pertemuan enam menteri luar negeri di Jakarta dibuka oleh Menlu Hassan Wirajuda dan Menlu Australia Alexander Downer. Acara ini dihadiri oleh sekitar 125 delegasi dari enam negara, meliputi delegasi Australia 21 orang, Indonesia 23 orang, Malaysia 17 orang, Filipina 27 orang, Singapura 13 orang, dan Thailand 24 orang. Delegasi yang dipimpin menlu masing-masing negara di dalamnya termasuk aparat kepolisian, dutabesar, dan jajaran departemen luar negeri dari negara-negara peserta konferensi. (*)

Copyright © ANTARA 2007