Jakarta (ANTARA News) - Aparat Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai menggagalkan penyelundupan daging unggas jenis bebek, ayam, dan daging sapi China dan Brazil dari Hongkong. "Modus operandi yang digunakan adalah dengan tidak diberitahukan dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan maksud menghindari larangan dari pemerintah tentang pemasukan hewan dan bahan asal hewan dari negara yang tertular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)," kata Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) IV Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok, Heru Santoso, di Jakarta, Selasa. Heru menjelaskan, CV. CB mengajukan PIB nomor 045026 dengan jenis barang diberitahukan sebagai makanan hasil laut, seperti octopus, cuttle fish, shell mussel, jelly fish, scallops, dan kernel corn. Dalam sistem komputer BC, menurut dia, PIB tersebut masuk jalur merah yang dalam tiga hari pengurus/pemilik barang harus menarik kontainer ke lapangan pemeriksaan untuk dilakukan pemeriksaan fisik barang oleh petugas Bea dan Cukai. Oleh karena dalam tiga hari sejak pengajuan PIB, ternyata pengurus/pemilik barang tidak melakukan penarikan barang tersebut, maka timbul kecurigaan petugas BC Tanjung Priok, sehingga dikeluarkan surat tugas pemeriksaan untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, katanya, terdapat barang-barang yang dilarang untuk diimpor, seperti daging bebeak Cina, potongan daging ayam, potongan daging sapi, yang tidak diberitahukan dalam PIB, sehingga dilakukan pencegahan untuk diproses hukum lebih lanjut. Dari hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan, ia menyatakan, terungkap bahwa pelaku berinisial HAH selaku Custom Brooker dari PT EUK, sehingga dilakukan penangkapan terhadap yang bersangkutan. Atas kasus itu, Be Cukai telah mengamankan barang bukti berupa kontainer bernomor MWCU-5645482/20 beserta isinya. Menurut Heru, potensi kerugian atas importasi itu adalah ancaman wabah PMK dan flu burung di wilayah Indonesia karena daging bebek, ayam, dan sapi dari Cina dan Brazil belum bebas dari penyakit PMK dan flu burung. "Dari nilai barang yang diperkirakan Rp200 juta itu juga ada ancaman terhadap industri peternakan di Indonesia atas masuknya produk peternakan secara ilegal dari luar negeri," demikian Heru Santoso. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007