Jakarta (ANTARA News) - Indonesia diperkirakan bisa menjadi negara importir netto minyak secara permanen, karena ketidakmampuan produksi minyak mentah mencukupi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri akan berlangsung dalam jangka panjang, kata pengamat migas, DR Kurtubi. "Jika produksi tidak mampu meningkat secara signifikan maka Indonesia nyaris pasti akan menjadi nett oil importer secara permanen," kata Kepala Pusat Studi Perminyakan dan Ekonomi Energi (CPEES) itu saat berbicara dalam seminar "Tingginya Cost Recovery, Siapa yang Diuntungkan", di Jakarta, Rabu. Menurut Kurtubi, indikasi ke arah itu sudah dapat dilihat dari rencana produksi minyak Indonesia di masa datang yang jauh lebih rendah dari kebutuhan. Dengan berbagai program yang direncanakan, menurut dia, maka pemerintah menargetkan produksi minyak Indonesia pada 2009 hanya sekitar 1,3 juta barel per hari (bph), sedangkan target produksi pada 2015 hanya sekitar 1,2 juta bph. Padahal, menurut dia, kebutuhan minyak mentah untuk mecukupi pasokan BBM di dalam negeri pada tahun 2006 saja, sudah mencapai sekitar 1,4 juta bph. Ia mengatakan, gejala penurunan produksi minyak mentah Indonesia sudah terlihat sejak tahun 1996. Pada tahun 1995, produksi minyak sekitar 1,6 juta bph, tetapi tahun berikutnya turun menjadi 1,55 juta bph. Angka produksi 1,55 juta bph masih bisa bertahan hingga 1998. Namun tahun 1999 mulai turun menjadi 1,5 juta bph. "Sejak saat itu penurunan tidak mampu direm sedikitpun. Sehingga setiap tahun secara konstan produksi terus mengalami penurunan hingga sekarang," kata Kurtubi. Hal tersebut, ujarnya, terjadi selain lantaran lapangan-lapangan yang sudah tua, juga karena penemuan cadangan baru yang sangat langka sebagai akibat penurunan kegiatan pemboran eksplorasi. Namun, menurut Kurtubi, sebenarnya secara geologis sumber daya minyak dan gas di Indonesia masih sangat besar, yaitu 86,9 miliar barel minyak dan 384,7 triliun kaki kubik gas (TSCF). "Besarnya cadangan minyak dan gas itu masih akan tetap menarik bagi investor," katanya. Hanya saja, Kurtubi menambahkan, perlu ada perbaikan dalam sistem kontrak kerja sama dengan kontraktor migas serta mekanisme kontrol yang lebih ketat terhadap sistem biaya pemulihan (cost recovery). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007