Jakarta (ANTARA News) - Pada usianya yang masih lima tahun, W (sebut saja demikian) sudah dipaksa bekerja oleh ibunya. Ia harus menyetor uang dari hasil mengamen dan menjadi joki 3-in-1 setiap hari.

"Kalau tidak ngamen nanti dicubit ibu," kata W, saat ditemui di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, Jakarta.

W mengaku takut jika tidak menjalankan perintah ibunya. Dari penghasilan setiap ngamen sekitar Rp30.000, W hanya diberi Rp2.000 untuk jajan.

Bocah bertubuh kurus itu tidak ingat sejak kapan dipaksa bekerja. Padahal ia ingin sekolah seperti teman-temannya.

"Tidak tahu, sudah lama (kerja)," ujarnya dengan suara pelan.

Selain mengamen, W kadang juga menjadi joki pada pagi hari dan sore hari. Begitu pun dengan R, yang menjadi joki mengikuti jejak ibunya yang juga seorang joki.

"Mama yang suruh cari uang jadi joki. Kalau enggak, nanti diomelin," ujar R yang saat ini duduk dibangku taman kanak-kanak di daerah Sentiong, Jakarta.

R biasa menjadi joki 3-in-1 di kawasan Blok M setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan sore hari sepulang dari sekolah.

"Cari uang buat beli makan," kata R dengan polos.

Kepala RPSA Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, Neneng Heriyani mengatakan, berdasarkan cerita kedua bocah tersebut, mereka kadang sampai menginap di trotoar jalanan.

"Sejak kecil mereka sudah disuruh ngamen dan jadi joki oleh yang disinyalir ibunya (masih dalam penelusuran kepolisian). Tapi, keterangan mereka masih suka labil. Pelan-pelan kami latih mereka mencurahkan isi hati. Kami masih mengumpulkan data-data sampai nanti menemukan satu kesimpulan yang benar," jelas Neneng.

Polres Metro Jakarta Selatan menangkap dua orang perempuan tersangka kasus perdagangan orang, masing-masing berinisial I alias Mama Wiwit (35) dan NH (43) pada Rabu (23/3). Mereka ditangkap di daerah Blok M. 

Kemudian, polisi melakukan pengembangan dan membekuk pelaku lainnya pada Kamis (24/3). Polisi mengamankan delapan orang dewasa dan 17 anak dari usia bayi hingga tujuh tahun. 

W (5) dan R (7) dibawa ke RPSA pada Kamis (24/3) malam dengan kondisi masih trauma. 

Sejak sepekan berada di RPSA, kondisi W dan R berangsur membaik. Mereka bahkan bisa cepat bersosialisasi dan kembali ceria. Mereka terlepas dari beban harus bekerja dan bisa bermain layaknya anak seusia mereka.

Namun, saat ditanya wartawan apakah betah berada di RPSA, mereka memberi jawaban yang cukup mengejutkan. Mereka masih memiliki keinginan untuk mencari uang.

"Kalau pulang mau jadi joki lagi, kan cari uang," kata R yang juga mengaku rindu dengan ibunya.
Demikian pula dengan W, dia masih ingin mengamen lagi. “Di sini banyak temannya tapi enggak betah. Kangen ibu, mau tidur di tempat ibu. Tetap mau ngamen," ujarnya. 

Pemulihan
Menurut Neneng, pemulihan paling sulit dari korban eksploitasi anak adalah mengobati mereka dari rasa trauma dan stres. Ditambah lagi, sejak kecil mereka sudah terbiasa bekerja.

"Kami terus memberi pemahaman bahwa sebagai anak mereka hanya bertugas sekolah, ibadah dan bermain. Mereka kan kebanyakan hidup di jalan, jadi kami juga kasih tahu etika dan norma, misal cara makan dan kaki tidak boleh dinaikkan ke atas," tuturnya.

Setidaknya terdapat 32 anak-anak yang menjadi korban eksploitasi secara ekonomi dan seksual serta anak korban perdagangan dan anak terlantar.

"Mereka tidak selamanya di sini, karena tempat ini hanya sebagai shelter. Setelah menjalani terapi dan assesment, kami melakukan penelusuran kerabat terdekat mereka dan apakah mereka layak menerima anak ini nantinya. Panti adalah pilihan terakhir karena alternatif paling baik ke keluarga," jelas Neneng.

Ia pun meyakinkan bahwa anak-anak tersebut diberikan kepada orang yang tepat sehingga tidak kembali menjadi anak jalanan atau dieksploitasi.
"Nanti ada monitor, mereka sekolah atau tidak, bersosialisasi dengan teman sebaya atau tidak. Kalau tidak ada perkembangan, bisa dikembalikan kepada kami lagi," ujar Neneng.

Ia pun berharap kerjasama dari semua instansi terkait untuk memerangi kasus eksploitasi terhadap anak. 

"Kasus seperti ini sudah adasejak dulu. Maka harus ada kerjasama semua instansi terkait. Mudah-mudahan yang dilakukan Polres Jakarta Selatan bisa jadi model di tempat lain sehingga kalau terus dilakukan seperti ini, lama-lama eksploitasi anak berkurang dan akhirnya habis," harapnya.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016