Jakarta (ANTARA News) - Anak-anak yang menjadi korban eksploitasi masih menjalani pemulihan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, Jakarta.

"Kami melakukan pemeriksaan medis terhadap W dan R, kemudian mereka menjalani pemulihan psikososial untuk memulihkan kondisi saat mereka stres dan trauma, dikondisikan menjadi seperti semula, tidak stres lagi," kata Kepala Rumah Perlindungan Sosial Anak Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Bambu Apus, Neneng Heriyani, di Jakarta, Kamis.

Neneng mengatakan, kondisi W dan R berangsur membaik bahkan sudah dapat bersosialisasi. Mereka menjalani pemulihan dengan pendampingan dari psikolog, pekerja sosial, dan perawat.

"Sampai saat ini kondisi mereka jauh lebih baik, berbeda ketika baru datang ada ketakutan dan cemas. Dalam terapi psikososial, ada terapi kreatif dan edukatif dari pekerja sosial, ada pemetaan perasaannya apa mereka masih ada rasa kangen atau marah kepada ibunya. Nanti kami lihat perkembangannya," jelas Neneng.

W (5) dan R (7) dibawa ke RPSA pada Kamis (24/3) malam dengan kondisi masih trauma. Sedangkan bayi B yang masih berusia enam bulan dibawa ke RPSA pada Jumat (26/3) malam dengan kondisi buruk karena diberi obat penenang Riclona dengan dosis tinggi oleh pelaku.

Saat ini, bayi B masih menunggu hasil pemeriksaan medisnya.

"Tapi kondisinya sudah signifikan membaik, ada perubahan sejak Jumat malam kami ambil," ungkap Neneng.

"Saat baru dibawa, bayi B sangat lemah dan lambat responnya akibat diberi obat penenang. Nangisnya pun pelan, nyaris tidak terdengar. Tetapi kondisi sekarang jauh berbeda, karena diberikan kebutuhan pokok makan tercukupi," tambahnya.

Saat ditemui ANTARA News di RPSA, W dan R tampak ceria dan bersih. Kedua bocah yang sebelumnya sudah saling mengenal itu, kompak bermain bersama.

"Bangun tidur makan terus main," kata W. "Di sini temannya banyak," tambah R.

W dan R tidak terlihat trauma menghadapi orang asing. Menurut Neneng, kondisi keduanya berangsur membaik karena mereka tidak ada beban untuk mengemis atau menjadi joki lagi.

"Di sini hanya main saja, kami kasih permainan, gambar, sehingga mereka tidak merasa sedang diterapi," ujar Neneng.

Hanya saja, lanjut Neneng, kondisi W dan R masih cukup labil. Mereka juga kerap memberikan keterangan yang berbeda.

"Mereka pandai berkelit atau berbohong saat memberi keterangan, seperti mem-back up dirinya. Tapi pelan-pelan kami latih mereka mencurahkan isi hati. Kami masih mengumpulkan data-data sampai nanti menemukan satu kesimpulan yang benar," jelas Neneng.

Ia menambahkan, W dan R juga diberi pemahaman bahwa sebagai seorang anak mereka tidak berkewajiban mencari nafkah. Kalau sama yang disinyalir orantua mereka, lanjut Neneng, memaksa keduanya untuk bekerja.

"Kami memberi pemahaman bahwa sebagai anak mereka hanya bertugas sekolah, ibadah dan bermain. Mereka kan kebanyakan hidup di jalan, jadi kami juga kasih tahu etika dan norma, misal cara makan dan kaki tidak boleh dinaikkan ke atas," tuturnya.

Pewarta: Monalisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016