Pangkalpinang (ANTARA News) - Industri pemurnian bijih timah (smelter) di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand disinyalir kekurangan bahan baku akibat dilarangnya ekspor bijih timah bagi non-eksportir terdaftar, serta ketatnya pengawasan lalulintas kapal diperairan Bangka. "Biasanya smelter dari tiga negara itu sebagian mendapatkan pasokan bijih timah dari Bangka Belitung, sekarang celah itu makin tertutup setelah dilakukan penataan pertambangan dan perdagangan timah," kata Dirut PT Timah (Persero), Thobrani Alwi. Bangka telah menjadi pemasok bahan baku bagi industri timah bermerek di Asia Tenggara hingga produksi perusahaan tersebut jauh melebihi bahan baku yang mereka dapat dari negara sendiri. Pabrik timah di Thailand mampu memproduksi 30.000 ton setiap tahun, sementara hasil penambangan mereka hanya berupa pasir timah sebesar 3.000 ton saja. Negara tetangga lainnya, seperti Malaysia melalui Malaysia Smelting corporation (MSC) juga memproduksi timah bermerek sebanyak 30.000 ton pertahun, disisi lain penambangan mereka hanya memproduksi pasir timah sebesar 5.000 ton pertahun. Begitu juga dengan Singapura dengan pabrik Singapura Tin Industri (STI) yang baru membuat pabrik timah bermerek sendiri malah tidak memiliki cadangan timah sama sekali, tapi berani membuka pabrik karena mendapat pasokan dari Bangka. Indonesia sendiri mampu memproduksi sebesar 120.000 ton timah bermerek bila seluruh pasir timah dan balok timah tidak dijual keluar negeri. Kalau sekarang produksi PT. Timah dan Kobatin hanya 60 ribu ton pertahun. Hasil timah di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yaitu 40 persen dari kebutuhan dunia. Hanya saja akibat tidak bersatunya pelaku timah di Indonesia, maka peran Indonesia dalam mengatrol harga timah dunia jadi kecil. Dengan banyaknya timah dari Bangka yang lari ke luar negeri, mengakibatkan stok pasar sebenarnya susah diprediksi. Harga timah dalam kurun dua tahun terakhir jadi jatuh. Selain itu, negara lain yang secara kelayakan tidak pantas membangun pabrik timah bermerek, malah berani membangun industri itu karena yakin mendapat pasokan dari Indonesia. Harga timah dunia tahun 2005 turun 1.000 dolar per ton. tahun 2004 harga timah rata-rata diatas 10 ribu/ton. Dengan mulai di ekspornya crude tin (timah mentah), maka harga timah terus merosot. Pasca-penataan tambang dan perdagangan timah, harga timah di pasar dunia, seperti London Metal Exchange (LME) mencapai angka 12.000 AS per metrik ton. Timah dari Bangka bahkan juga dijual ke China yang juga merupakan penghasil timah. China yang mampu memproduksi 100.000 ton timah juga membutuhkan timah untuk industri dalam negeri mereka setiap tahun kebutuhan timahnya meningkat secara tajam. "Sebetulnya kalau kita bisa bersatu dengan asosiasi industri timah Indonesia (AITI) dan sama-sama memproduksi timah bermerek didalam negeri, Indonesia akan berperan penting sebagai pemain timah dunia," ujarnya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007