Oleh Masduki Attamami Yogyakarta (ANTARA News) - Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta), seperti halnya keraton di daerah lain di Indonesia, adalah ibarat mata-air yang tak pernah kering bagi kehidupan di sekitarnya. Namun, institusi kekuasaan dan kebudayaan yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang menjadi panutan masyarakat itu, kini semakin terkikis modernisasi. Pengaruh modernisasi yang cukup kuat di tengah masyarakat mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam memaknai nilai-nilai luhur yang ada dalam kehidupan di keraton ini. "Sebagian masyarakat sekarang lebih melihat kepada hal yang lebih praktis, sehingga mereka meninggalkan tata cara maupun tradisi yang selama ini diadopsi dari nilai nilai keraton," kata Condroyono, salah seorang kerabat Keraton Yogyakarta. Menurut keturunan langsung Sri Sultan Hamengku Buwono VII itu, lingkungan keraton selama ini menjadi pusat budaya dan nilai-nilai luhur yang secara turun-temurun menjadi panutan masyarakat Yogyakarta. Namun, kata dia, nilai-nilai luhur dan tradisi keraton semakin ditinggalkan masyarakat, karena terjadi akulturasi budaya, dan hanya beberapa yang masih digunakan oleh sebagian masyarakat di daerah ini. Ia menyebut contoh upacara tradisi yang hidup di dalam keraton, seperti `brokohan`, `tedak siten` dan lainnya yang selama ini juga hidup di luar tembok kraton, sekarang semakin ditinggalkan masyarakat. Sedangkan sesuatu hal yang ditabukan masyarakat, dan hanya diperuntukkan bagi keluarga keraton, kini justru bebas dipakai masyarakat di luar tembok kraton. Sejak zaman dulu, menurut Condroyono, memaknai kain panjang bermotif `parang rusak` hanya diperuntukkan bagi keluarga Sultan Hamengku Buwono, dan kain motif itu hanya dipakai pada saat upacara di dalam keraton, serta ditabukan bagi kalangan masyarakat. Artinya, masyarakat tidak boleh memakai kain dengan motif itu. "Namun, kini justru bebas dipakai masyarakat di luar tembok kraton," katanya. Tetapi, kata dia, di luar semua itu diyakini masih ada sebagian masyarakat Yogyakarta yang mempercayai benda-benda atau tradisi keraton yang mampu memberikan tuah bagi mereka. "Seperti dalam upacara tradisi `grebeg`, bagi warga yang bisa mendapatkan bagian dari `gunungan` yang diperebutkan, dipercayai akan memperoleh kehidupan yang lebih baik," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Keberadaan keraton masih `dibutuhkan` masyarakat juga diyakini budayawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Bakdi Sumanto. "Keberadaan Keraton Yogyakarta sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat sebagai pelindung spiritual dan menjadi panutan dalam kehidupan bermasyarakat," katanya. Sebagian besar penduduk asli Yogyakarta, menurut dia, sampai saat ini masih mempercayai kharisma keraton sebagai pusat nilai kehidupan bermasyarakat terutama norma-norma perilaku manusianya. Meski demikian, kata Bakdi, memang ada penurunan terutama mulai lunturnya tradisi, seiring dengan perkembangan kota Yogyakarta dan sekitarnya. "Karakter masyarakat Yogyakarta saat ini sangat heterogen, dan ini membawa konsekuensi semakin lunturnya tradisi itu, sehingga ada sebagian masyarakat yang bersikap acuh tak acuh terhadap keberadaan keraton," kata dia. Ia mengatakan masyarakat asli Yogyakarta sampai sekarang masih mempercayai spiritualitas keraton sebagai pelindung dalam menghadapi berbagai bencana yang terjadi seperti erupsi Gunung Merapi, banjir, angin topan maupun gempa bumi seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. "Tidak sedikit masyarakat yang mematuhi perintah atau petunjuk dari keraton seperti harus memasak sayur tertentu maupun berdoa agar terhindar atau selamat dari bencana," katanya. Spiritualitas tersebut juga ditunjukkan masyarakat dengan masih melakukan ritual `topo bisu mubeng beteng` (berjalan kaki mengelilingi benteng keraton dengan tidak mengeluarkan sepatah katapun) pada malam menjelang tanggal 1 Suro. "Tradisi semacam itu masih banyak dilakukan masyarakat termasuk saat `grebeg sekaten` atau `grebeg` lainnya. Bahkan mereka berebut `gunungan` yang dipercaya membawa berkah," kata dia. Selain itu, menurut dia, sampai sekarang pun masyarakat masih banyak mengabdikan diri dan bekerja sebagai `abdi dalem` Keraton Yogyakarta, meskipun gaji mereka sangat kecil. "Abdi keraton saat ini masih banyak, meski gaji mereka sangat kecil, mereka tetap setia dan berharap mendapatkan berkah dari keraton," kata Bakdi Sumanto. Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Jiono mengatakan, beberapa waktu lalu masyarakat memang seperti tergiur pengaruh budaya barat, tetapi sekarang mulai melestarikan kembali budaya luhur dari Keraton Yogyakarta. "Masyarakat mulai kembali menerapkan nilai luhur Keraton Yogyakarta, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun secara simbolik dalam ritual tertentu," katanya. Ia menyebutkan seperti di Bantul, tata krama masih sangat dijunjung tinggi masyarakat, salah satunya dengan `mengejawantahkan` (memakai dengan sepenuh hati) bahasa Jawa dalam pergaulan atau keseharian mereka. Begitu pula dengan dunia pendidikan dan kesenian, kata dia di dalamnya masih tetap berpegang pada budaya adiluhung dari Keraton Yogyakarta. Di sekolah dasar (SD) pelajaran bahasa Jawa menjadi menu wajib siswa, begitu pula seni tari semakin diminati para siswa. Kata Jiono, Bantul yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, tetap menggunakan ajaran keraton mulai dari proses awal hingga mendapat hasil dari pertaniannya. "Seperti yang sudah diajarkan secara turun-temurun, masyarakat masih menaati penanaman padi dengan memberi `sedekah` (membuat semacam kenduri) sebagai ungkapan terimakasih kepada Tuhan," kata dia. Gempa bumi yang meluluhlantakkan harta benda hampir seluruh warga Bantul membuat mereka lebih banyak belajar dan patuh pada petunjuk Raja Keraton atau `Sabda Pandita Ratu`. Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X), selalu mengatakan pemahaman warga Yogyakata terhadap keraton adalah memahami makna poros historis filosofis Krapyak-Keraton-Tugu. Ini merupakan sebuah konsep harmonisasi kehidupan yang holistik. "Jadi, monumen terpenting di Yogyakarta bukanlah sebuah bangunan megah, melainkan suatu poros historis filosofis Krapyak-Keraton-Tugu," kata Sultan. Menurut dia, secara historis kultural bangunan itu berorientasi pada keberadaan keraton dan garis imajiner tersebut. Sedangkan makna keraton adalah simbol penting dari peninggalan budaya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. "Nilai historis filosofis dan kultural dari poros imajiner itu merupakan identitas yang memiliki karakter dan potensi. Karena itu, lingkungannya perlu dilindungi agar poros dan produk budaya yang ada tetap monumental bagi Yogyakarta," katanya. Ia menuturkan, secara simbolis poros imajiner tersebut melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Poros itu pada dasarnya juga merupakan kawasan urban, dan memiliki beberapa komponen yang signifikan bagi masyarakat. Selain itu, secara historis kawasan tersebut menjadi kawasan yang tumbuh, berkembang dan berinteraksi secara berkelanjutan. "Itu semua perlu dilestarikan jika kita mau melestarikan sekaligus mengembangkan jati diri Yogyakarta sesuai akar historisnya. Ini penting agar generasi mendatang tidak menjadi generasi yang hilang," kata Sultan HB X, yang juga Gubernur DIY. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007