Oleh Hendra Agusta dan Sudirman Bukittinggi (ANTARA News) - Monumen bersejarah Jam Gadang (jam besar), yang tegak berdiri megah di titik nol kilometer pusat Kota Bukittinggi sekaligus menjadi "landmark" kota itu maupun ikon Sumatera Barat (Sumbar), berhenti berdetak tatkala gempa tektonik berkekuatan 5,8 Skala Richter (SR) mengguncang wilayah Sumbar, Selasa (6/3). "Gempa itu telah membuat jam terbesar di Sumbar rusak dan jarum-jarumnya berhenti," kata petugas penjaga Jam Gadang, Yusrizal (25), kepada ANTARA News di Bukittinggi. Ia menyebutkan, jarum Jam Gadang terhenti pada posisi pukul 02.45 WIB (14.45 WIB). Sebelumnya, saat gempa terjadi jarum jam berhenti pada posisi pukul 12.56, lalu kembali bergerak dan berhenti lagi pada posisi pukul 14.45. Terhentinya detak jam ini, menurut dia, karena bandulan jam (peralatan penggerak detik-detik jarum) telah patah. Bandulan berbentuk kayu balok lurus, terbuat dari dari kayu jati dengan panjang sekitar setengah meter itu patah karena gempa. "Kami sudah mencoba memperbaikinya, tapi belum bisa pulih dan detak jam tetap berhenti. Selain itu, sejumlah peralatan mekanik "Jam Gadang" juga mengalami kerusakan dan kini terus dilakukan perbaikan," ujarnya. Fisik bangunan monumen Jam Gadang juga terlihat mengalami kemiringan ke arah utara, namun berapa persisnya derajat kemiringan itu belum diketahui, ujarnya. Kerusakan berupa retak-retak juga banyak dialami fisik bangunan tersebut dan sedikitnya ada 50 titik retak, terutama pada bagian dalam. Satu bidang kaca jendela bangunan pada bagian atas Jam Gadang juga pecah. Serpihan-serpihan bahan bangunan yang hancur masih nampak berjatuhan dari atas monumen. Yusrizal mengatakan, perlu segera dilakukan penelitian dan pengecekan dari tim ahli terhadap fisik Jam Gadang pasca-gempa, sehingga bisa diketahui apakah perlu segera dilakukan renovasi atau perbaikan lainnya, katanya. Jam Gadang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1926 dengan arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Monumen itu didirikan di dataran paling puncak Bukit Kandang Kabau yang berada di pusat Kota Bukittinggi. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu berumur 6 tahun. Pembangunan Jam Gadang merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota) Bukittinggi. Bangunannya berukuran diameter 80 centimeter, dengan luas denah dasar 13x4 meter dan tinggi 26 meter, serta biaya pembangunan saat itu mencapai 3.000 Gulden Belanda. Monumen itu dibangun dengan bahan semen putih dan telor, selain bahan yang biasa digunakan berupa pasir dan batu. Jam tersebut digerakkan mesin secara manual dan dibuat oleh bangsawan pembuatan jam asal Inggris, Brixlion. Data lain menyebutkan, mesin Jam Gadang khususnya dibuat oleh ahli jam dari Jerman bernama Recklinghausen. Mesin jam ini konon hanya dibuat dua unit di dunia yakni untuk Jam Gadang di Bukittinggi dan Big Ben di London, Inggris, sehingga dua monumen ini disebut kembar. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, monumen tersebut juga digunakan pihak untuk militer mengintai wilayah seputar Kota Bukittinggi, dan jam raksasa berbentuk bulat dengan angka-angka huruf Romawi itu dijadikan alat penunjuk waktu bagi warga setempat. Di masa penjajahan Belanda, bagian paling atas (atap) bangunan Jam Gadang berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan. Di masa pendudukan Jepang, bentuk tersebut diubah menjadi wujud atap klenteng. Setelah masa kemerdekaan RI, bagian atap bangunan kembali direnovasi dan diganti menjadi bentuk ornamen Rumah Gadang (rumah adat Minangkabau). Selain bersejarah, Jam Gadang juga memiliki keunikan dan misteri yakni pada bentuk angka petunjuk jam yang berupa huruf Romawi. Jika diperhatikan sekilas memang tidak ada yang aneh dari angka-angka Romawi pada jam itu yang berbentuk I, II, III, IIII, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI dan XII itu, karena memang sudah lazim penulisannya seperti itu. Namun, keganjikan akan nampak jika diperhatikan penggunaan angka penunjung jam 4, yakni IIII yang lazimnya dalam angka Romawi berbentuk IV. Namun, bentuk angka IIII lazim ditulis dalam angka Romawi kuno. Namun, bagi masyarakat setempat beredar cerita bahwa penulisan angka IIII (4) itu dianggap aneh dan misteri, sehingga membuat pamor Jam Gadang semakin unik dan terkenal, serta menimbulkan penasaran mengapa dibuat angka IIII. Ada cerita rakyat yang beredar di Bukittinggi bahwa angka IIII itu dibuat untuk menunjukkan jumlah korban atau tumbal manusia, ketika pembangunan monumen tersebut yang mencapai empat orang. Untuk menjaga keakuratan jam, penjaga harus memutar roda gigi jam setiap minggu dan setiap 30 menit terdengar sekali dentang lonceng di atap menara. Lonceng juga berbunyi setiap jam dan penduduk Bukittinggi biasa menjadikan Jam Gadang sebagai panduan waktu karena dentangan loncengnya terdengar hingga jarak yang jauh. Kini, akibat gempa, jam bersejarah itu terpaksa istirahat, sambil menunggu tenaga ahli yang bakal memperbaikinya. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007