Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa kasus dugaan korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton, Ali Mazi, mengaku perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton dilakukan sebelum adanya perjanjian kerjasama dengan Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS). Saat memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang untuk terdakwa mantan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat, Ronny Kusuma Yudhistiro dan Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta, Robert J Lumampouw, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu, Ali mengatakan, perjanjian kerjasama itu sepenuhnya kewenangan PT Indobuildco sebagai pemberi kuasa. Saat tengah mengurus perpanjangan HGB, Ali mengaku pihak BPGS meminta agar dibuat perjanjian kerjasama antara BPGS dan Hotel Hilton. "Tapi, menurut hemat saya, silakan negosiasi dengan pemilik. Saya coba jembatani saja. Seingat saya, saya hanya hadir dalam satu kali pertemuan antara BPGS dan PT Indobuildco. Cuma sampai di situ saja," katanya. Ali Mazi mengaku tidak tahu perkembangan perundingan antara BPGS dan PT Indobuildco itu, sampai akhirnya SK Perpanjangan HGB Hotel Hilton keluar dan ia terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara pada 2002. Ia mengatakan, perundingan antara BPGS dan PT Indobuildco menjadi berkepanjangan dan berjalan alot karena tidak tercapai kesepakatan tentang kontribusi yang harus dibayarkan oleh PT Indobuildco kepada BPGS. Pada pertemuan pertama yang dihadiri, menurut Ali, sudah ada niat dari PT Indobuildco untuk membayar kontribusi sebesar 350 ribu dolar AS. "Tetapi, saya tanyakan kepada bagian keuangan PT Indobuildco, dan mereka katakan coba tawar lagi sampai 200.000 dolar AS," ujarnya. Untuk itu, Ali Mazi kemudian menyurati BPGS, agar menurunkan nilai kontribusi yang harus dibayar oleh PT Indobuildco hingga 200 ribu dolar AS. Dalam suratnya itu, Ali Mazi mencantumkan bahwa jika hingga Agustus 2001 BPGS tidak memberikan jawaban, maka penawarannya itu dianggap tidak berlaku. Menurut dia, BPGS tidak pernah menanggapi surat itu sampai akhirnya perpanjangan HGB Hotel Hilton keluar pada 2002. "Sampai saya jadi Gubernur dan akhirnya sertifikat selesai, tidak ada jawaban," ujarnya. Dalam keterangannya, Ali Mazi mengaku pertama kali mengajukan permohonan perpanjangan HGB Hotel Hilton pada 1999, setelah ia menerima kuasa dari Direksi PT Indobuildco, Pontjo Sutowo. Permohonan diajukan saat Kepala Kantor Pertanahan BPN Jakarta Pusat dijabat oleh Ahmad Ronny. Menurut Ali Mazi, saat itu Kantor Pertanahan BPN Jakarta Pusat memberikan jawaban, bahwa HGB No 26 dan 27 atas nama PT Indobuildco berada di atas Hak Pengelolaan Lahan atas nama Sekretariat Negara, dan karena itu PT Indobuildco harus mendapatkan rekomendasi dari Setneg. Ali Mazi megatakan, ia kemudian berusaha untuk mendapat rekomendasi itu dari Sekretariat Negara (Setneg). Ia berpendapat, rekomendasi yang diperoleh dari Setneg itu adalah asli, bukan foto copy, karena tercantum nomor surat dan lambang burung garuda. "Selain itu, rekomendasi itu saya dapatkan langsung dari instansi. Jadi, pemahaman saya, itu asli, bukan salinan," ujarnya. Ali Mazi mengatakan, ia menyimpan rekomendasi yang diperolehnya dari Setneg itu, dan tidak menyampaikannya kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Surat itu ditujukan kepada BPN, dan yang saya terima hanya tembusannya saja. Karena itu ditujukan kepada BPN, maka saya pikir bukan kewenangan saya untuk menyampaikannya kepada BPN," tuturnya. Ia mengatakan, rekomendasi dari Setneg itu kemudian ia simpan untuk pertanggungjawaban kepada klien. Setelah proses perpanjangan HGB Hotel Hilton tidak kunjung usai, Ali Mazi mengakui, bertemu dua kali dengan Robert J. Lumampouw. "Saya bertamu untuk tanya kok surat saya tidak dijawab. Ini sudah dua tahun," ujarnya. Saat itu, Ali mengatakan, Robert berjanji untuk memeriksa berkas permohonan yang diajukan oleh Ali Mazi. Setelah SK Perpanjangan HGB Hotel Hilton akhirnya dikeluarkan oleh Robert sebagai Kakanwil BPN DKI Jakarta, Kepala BPN Pusat saat itu, Ibrahim Luthfi Nasution, kemudian memerintahkan Robert untuk merevisi SK perpanjangan itu, karena belum adanya perjanjian antara BPGS dan PT Indobuildco. Sekretaris BPGS, Murdowo, juga pernah menyurati BPN yang meminta, agar proses perpanjangan HGB Hotel Hilton ditunda, karena belum adanya perjanjian kerjasama. Ali mengatakan, ia tidak tahu soal adanya perintah revisi dari Kepala BPN Pusat tersebut, karena saat itu sudah menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara. Kuasanya untuk mengurus perpanjangan HGB Hotel Hilton, menurut Ali, berakhir saat proses perpanjangan itu selesai dan buku tanah diserahkannya kepada klien pada 2002. Ali Mazi pada awal persidangan menyampaikan keberatannya untuk bersaksi, karena dirinya terikat oleh pasal 19 ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan seorang advokat harus menjaga kerahasiaan kliennya. Namun, majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin berpendapat, kesaksian Ali tetap harus didengar, karena yang ditanyakan bukan soal kerahasiaan klien, melainkan soal prosedur perpanjangan HGB Hotel Hilton. Atas keputusan majelis itu, penasehat hukum terdakwa menyatakan keberatannya dan tetap berpendirian menolak pemeriksaan terhadap Ali Mazi, sehingga mereka tidak memberikan pertanyaan kepada Ali. Sidang dilanjutkan pada Rabu, 21 Maret 2007, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007