Bukitinggi (ANTARA News) - Produk tekstil yang diselundupkan ke berbagai daerah di Indonesia sangat memukul industri tekstil di tanah air yang paling banyak menyerap tenaga kerja, dan Indonesia rugi Rp2 triliun/tahun akibat penyelundupan itu. "Kerugian diderita sejumlah perusahaan tekstil itu di Indonesia cukup besar, akibat masuknya sejumlah produk tekstil selundupan dengan berbagai modus, terutama asal China," kata Menteri Perindustrian, Fahmi Indris, di Bukittinggi, Rabu. Fahmi Idris berada di Bukitinggi dalam acara Raker Departemen Perindustrian dengan Dinas Perindustrian Kabupaten/Kota wilayah Barat Indonesia di Hotel Pusako Bukitinggi 13 - 16 Maret 2007. Raker tersebut diikuti sekitar 200 pejabat Dinas Perindustrian dan Perdagangan di seluruh kabupaten/kota wilayah Indonesia bagian Barat. Sejumlah masalah dihadapi industri tekstil di Indonesia, di antaranya dampak maraknya aksi penyeludupan, selain juga kalah bersaing akibat tidak maksimalnya kerja mesin-mesin produksi yang umumnya telah berusia di atas 20 tahun. "Mesin-mesin produksi tekstil di Indonesia banyak berusia tua sehingga tidak mampu berproduksi optimal dan kualitas produknya cenderung tidak kompetitif," katanya. Terkait hal itu, menurut menteri, secara bertahap pemerintah akan melakukan restrukturisasi di bidang industri penyerap terbesar tenaga kerja itu. "Butuh dana lima miliar dolar Amerika untuk membenahi mesin-mesin produksi ini," katanya. Tahun 2007, pemerintah mengalokasikan dana Rp255 miliar sebagai subsidi bunga bagi para pengusaha yang ingin memperbaharui mesin-mesin industri tekstilnya. "Kita berharap melalui subsidi ini upaya restrukturisasi mesin-mesin itu semakin cepat, sehingga industri tekstil ini kembali maju," katanya. Industri tekstil juga satu penghasil devisa terbesar di Indonesia untuk ekspor non migas, dan keunggulan bersaing dari produknya adalah harganya murah karena tenaga buruh mudah didapat, di samping industri itu mendapat bantuan subsidi dari pemerintah, seperti keringanan pajak dan pinjaman lunak.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007