Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia melalui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, hari Kamis, dengan tegas menolak penghapusan hukuman mati dalam kasus narkoba. Terkait dengan uji materi pasal-pasal hukuman mati dalam Undang-Undang tentang Narkoba, Jaksa Agung RI Abdul Rahman Saleh menyatakan di Jakarta, pemerintah menolak secara tegas permohonan tersebut karena seluruh pemidanaan, pada dasarnya melanggar hak asasi manusia (HAM). "Namun, pelanggaran ini sah karena sesuai dengan hukum yang berlaku," katanya pada sidang judicial review UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, di Mahkamah Konstitusi. Menyoal hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, Jaksa Agung menyatakan bahwa ketentuan itu sebenarnya dibatasi oleh berlakunya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dimana dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada batasan yang ditetapkan dalam undang-undang. Ancaman pidana mati tak membuat jera para pengedar narkoba. Apalagi bila tak ada hukum yang mengatur larangan peredaran narkoba, Indonesia bisa dipastikan terancam mengalami "lost generation" (kehilangan generasi), katanya. Sementara itu, Kepala Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Pol I Made Mangku Pastika, seperti yang tertera dalam situs Mahkamah Konstitusi (MK), mengemukakan, dalam lima tahun terakhir, setiap tahun terjadi peningkatan perkara narkoba sebesar 34,4 persen. Setiap tahun, 15.000 orang di Indonesia mati karena narkoba. "Artinya, 41 orang setiap hari mati, baik karena overdosis maupun HIV/AIDS, akibat narkoba," katanya. Hal serupa juga dikemukakan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin dengan menyatakan di Indonesia terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba. Secara nasional, dari total 111.000 tahanan, 30 persen karena kasus narkoba. "Perkara narkoba telah menembus batas gender, kelas ekonomi, bahkan usia," katanya. Mengomentari penolakan pemerintah atas keterlibatan warga negara asing dalam mengajukan judicial review, Todung Mulya Lubis, Kuasa Hukum warganegara Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, mengatakan bahwa dalam konteks asas universal HAM, penghapusan hukuman mati dimungkinkan sebagaimana terjadi di Australia dan Amerika Serikat (AS). Di Amerika Serikat, Hamdan, seorang warganegara Yaman yang ditahan di penjara Guantanamo pernah "menantang" pemerintah AS melalui Mahkamah Agung karena telah mencabut hak hukumnya, kata Todung. Persidangan Mahkamah Konstitusi itu memeriksa dua perkara yang sama-sama mengajukan judicial review UU Narkotika, yaitu perkara No. 2/PUU-V/2007 yang diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia), keduanya sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan Krobokan, Kuta, Bali, yang diwakili Kuasa Hukumnya, Todung Mulya Lubis. Para Pemohon merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam UU Narkotika di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sedangkan perkara No. 3/PUU-V/2007 diajukan oleh Scott Anthony Rush, warga negara Australia diwakili Kuasa Hukumnya Denny Kailimang, S.H., M.H. dkk. Pemohon tersebut telah dijatuhi vonis pidana mati oleh Mahkamah Agung dan kini menempati Lembaga Pemasyarakatan Krobokan, Bali.(*)

Pewarta:
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007