Jakarta (ANTARA News) - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta majelis hakim menolak dan mengesampingkan permintaan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin untuk membuka kembali rekening dengan aset sekitar Rp600 miliar yang diblokir.

Setelah pembacaan tuntutan pekan lalu, penasihat hukum Nazaruddin mengajukan permintaan pembukaan blokir rekening dan majelis meminta pendapat dari jaksa mengenai permintaan tersebut.

"Kami menyampaikannya hari ini secara tertulis dan pada pokoknya meminta agar permintaan itu dikesampingkan karena aset yang diminta masuk dalam barang bukti dalam perkara ini dan seharusnya diputus dalam perkara ini," kata jaksa KPK Kresno Anto Wibowo dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Rabu.

Jaksa menyatakan aset-aset dalam rekening yang diminta dibuka blokirnya termasuk barang bukti tindak pidana karenanya meminta majelis hakim menolak dan mengesampingkan permohonan pembukaan blokir yang diajukan terdakwa.

"Aset-aset yang dimohonkan tersebut merupakan barang bukti dalam perkara a quo yang telah kami buktikan di persidangan ini sebagai 'harta kekayaan' yang dilakukan pencucian uang oleh terdakwa Muhammad Nazaruddin," kata jaksa dalam surat tanggapannya.

Dalam surat tersebut jaksa menyatakan bahwa pencucian yang dilakukan menggunakan nama perusahaan Permai Grup dan atau nama orang lain yang berada di bawah kendali terdakwa guna menyamarkan atau menyembunyikan asal-usulnya sebagai hasil dari "tindak pidana korupsi" yang dilakukan.

Menurut jaksa, permohonan tersebut justru menunjukkan fakta bahwa Nazaruddin merupakan pemilik sesungguhnya dari sejumlah aset yang diatasnamakan pihak lain tersebut, mempertegas terbuktinya dakwaan tindak pidana pencucian uang hasil kejahatan korupsi yang dilakukan Nazaruddin.

Jaksa meminta majelis hakim memerintahkan perampasan harta Nazaruddin yang nilainya total sekitar Rp600 miliar untuk negara.

"Estimasi sekitar Rp600 miliar, jadi dari saham sekitar Rp300 miliar. Kemudian dari uang yang disita itu juga sekitar Rp100 miliar, belum dari aset yang dari properti seperti rumah, pabrik, itu kan nilainya cukup besar," kata jaksa Kresno pada Rabu (11/5).

"Kalau aset sudah diambil Rp600 miliar dari total 1 triliun, sudah cukup lumayan meski ada aset yang tidak bisa kita ambil karena disebut ada gatekeeper (penjaga) di Singapura seperti Gareth Lim dan Lim Keng Seng," katanya.

"Kami sudah membuat MLA (Mutual Legal Assistance atau bantuan hukum timbal balik) dan putusan nanti yang akan digunakan aparat penegak hukum di Singapura untuk melacak," tambah Kresno.

Ia mengatakan setidaknya Nazaruddin membeli saham Garuda hingga 6 juta dolar Singapura melalui anak-anak perusahaan Permai Grup.

"Kalau cerita yang kita ketahui di sini 6 juta dolar Singapura, berdasarkan fakta persidangan," tegas Kresno.

Dalam perkara ini, jaksa menuntut hakim menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan kepada Nazaruddin karena menerima uang Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya dari sejumlah proyek pemerintah pada 2010 dan melakukan pencucian uang Rp627,86 miliar selama 2010-2014 serta Rp283,6 miliar pada 2009-2010.

Agenda sidang hari ini seharusnya mendengarkan pembacaan nota pembelaan Nazaruddin, namun pembacaan pledoi ditunda dan akan dilanjutkan pada Rabu (25/5) siang.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016