Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum dapat mengambil kebijakan apa pun terkait dengan status Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog), Widjanarko Puspoyo, yang dinyatakan sebagai tersangka kasus impor sapi fiktif, karena Presiden belum memberi penegasan atas nasibnya. "Mau hari ini atau kapan, nanti kalau sudah ada perintah, saya segera kasih tahu," kata Sekretaris Menteri Negara (Menneg) BUMN, Said Didu, di Jakarta, Jumat. Menurut dia, pemerintah akan sangat memerhatikan kasus tersebut, mengingat posisi yang diemban Widjanarko adalah posisi yang sangat strategis. "Bulog ini sangat strategis bagi pemerintah. Jadi, kalau ada goncangan sedikit pasti pemerintah akan memerhatikan dengan serius. Tunggu saja," katanya. Menko Perekonomian, Boediono, mengungkapkan pemerintah mengharapkan agar penetapan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo sebagai tersangka dalam kasus impor sapi tidak mengganggu pelaksanaan kebijakan dalam bidang perberasan seperti operasi pasar dan impor beras. "Ini proses hukum. Mudah-mudahan tidak mengganggu, sehingga program operasi pasar atau impor beras dapat berjalan terus," kata Menko. Kejaksaan Agung telah menetapkan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo sebagai tersangka kasus impor fiktif sapi Australia tahun 2001 lalu. Widjanarko akan diperiksa sebagai tersangka pada Selasa (20/3). Kasus dugaan korupsi Rp11 miliar itu berawal pada pengadaan atau impor sapi dari Australia tahun 2001 untuk pasokan Lebaran, Natal dan Tahun Baru yang dilakukan Bulog dengan PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan PT Surya Bumi Manunggal (SBM). PT LNP mendapat kontrak Rp5,7 miliar untuk pengadaan 1.200 sapi sementara PT SBM mendapat kontrak Rp4,9 miliar untuk 1.000 sapi. Namun pengadaan sapi itu tidak terwujud sebagaimana disebutkan dalam kontrak kerjasama walaupun telah dilakukan pembayaran. Dalam kasus impor tersebut, dari rekanan Bulog yaitu Maulany Ghany Aziz (Direktur PT LNP) telah divonis enam tahun penjara, denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp5 miliar, sementara Moeffreni dan Fahmi (Direktur dan karyawan PT SBM) divonis lima tahun penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan, dan harus membayar uang pengganti Rp3,3 miliar ditanggung renteng. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007